Bandara NYIA Kulonprogo
Warga Penolak Bandara Bertahan di Genteng Rumah Lalu Diturunkan Petugas
Empat anggota dari Satuan Polisi Pamong Praja Kulon Progo dan seorang polisi Provos mencoba membujuk.
Ada juga yang berontak, bahkan melukai beberapa Satpol PP dengan cara menggigit. Tidak ikhlas Sumiyo mengaku rumah itu adalah peninggalan orang tuanya.
Di rumah itu, tinggal 2 kepala keluarga, yakni Sumiyo dan salah seorang anaknya yang sudah berkeluarga. Sebagai rumah peninggalan, ia berniat mempertahankan sebisanya.
"Intine niki griyo kulo, dibrukke ora iklas. Urip turun temurun kok dirampas. (Intinya ini rumah saya, dirobohkan tidak ikhlas. Hidup turun temurun kok dirampas)," kata Sumiyo tak lama setelah diturunkan petugas.
Sumiyo mengaku tidak akan menerima apapun tawaran pemerintah untuk menyerahkan tanah dan rumahnya menjadi lahan bandara. Karenanya, ia menilai pemerintah arogan dengan memaksa kehendak merobohkan rumah. "Ini pembongkaran paksa. Sejak semula pilihannya hanya setuju atau menolak. (Bertahan) karena ini warisan orang tua," kata Sumiyo.
Sumiyo mengaku tersakiti untuk kesekian kali. Satu bulan lalu, ia mempertahankan lahan garapan cabai yang juga berada di tengah IPL.
"Cabai tinggal petik dipanen, malah disorok (digusur)," katanya.
Sumiyo memastikan akan bertahan di situ. Ia akan mendirikan tenda, menitipkan barang-barang miliknya ke rumah tetangga, dan akan kembali bercocok tanam di lahannya.
Ia tidak menerima solusi apapun dari pihak manapun, termasuk menerima ganti rugi. "Kami akan berusaha bikin tenda. Ini hak dan tanah saya. Saya tak bersedia tinggal di situ (rumah relokasi)," katanya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tolak Tanah Digusur untuk Bandara, Sumiyo Bergulat dengan Petugas di Atap Rumah"