Hashima, Kisah Pulau Kaya Tambang yang Kemudian Ditinggalkan Penghuninya
Pulau ini bernama Hashima. Berada di lepas pantai yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dengan menggunakan perahu dari pelabuhan Nagasaki
Penulis: Mona Kriesdinar | Editor: Mona Kriesdinar
Pada tahun 1959, Pulau Hashima mencatatkan rekor kepadatan penduduk tertinggi yang pernah tercatat dalam sejarah. Ada 83.500 orang per kilometer persegi atau 1.391 orang per hektar. Hal ini berdampak langsung pada terus tumbuhnya pembangunan terutama untuk permukiman. Nyaris tak ada ruang kosong yang tersisa. Semuanya digunakan untuk membangun permukiman.
Di tengah kemakmuran tersebut, pada waktu bersamaan mereka juga sebenarnya hidup dalam kesengsaraan. Bagaimana tidak, saking padatnya penduduk, apartemen yang dibangun itu hanya menyisakan satu ruangan kecil yang harus digunakan oleh satu keluarga. Selain itu, serangan badai topan yang rutin terjadi telah membuat para penduduk hidup dalam ancaman kelaparan. Hal itu terjadi lantaran kapal pengangkut makanan kerap kali tak mampu bersandar akibat cuaca buruk.
Selain itu, para pekerja tambang juga bekerja di bawah bayang-bayang kematian yang mengerikan. Mereka harus bekerja masuk ke dalam perut bumi sedalam 1000 meter dengan ancaman runtuhnya lorong tambang.
Suasana pulau Hashima yang makmur ini perlahan-lahan berubah ketika Perang Dunia II mencapai puncaknya. Banyak pemuda dari pulau ini yang kemudian dipanggil ke medan perang untuk membela negara. Sehingga lambat laun, pulai ini mulai kekurangan pekerja tambang. Sebagai gantinya, pemerintah Jepang saat itu mendatangkan para tawanan perang dari China dan Korea untuk bekerja di pulau ini sebagai pekerja paksa.
Mereka dipaksa bekerja dalam kondisi yang sangat memperihatinkan. Kepalaran, permukiman yang tak layak serta resiko pekerjaan yang sangat berbahaya. Tak sedikit diantaranya yang pingsan akibat kelalahan parah.
Pada saat itu, dilaporkan setidaknya lima orang tewas setiap bulannya. Mereka kemudian membangun lokasi khusus krematorium di dekat pulau tersebut. Banyak orang putus asa dalam kondisi tersebut. Mereka kelaparan dan terpenjara di dalam dinding-dinding beton yang mengelilingi seluruh pulau. Tak sedikit yang mencoba melarikan diri namun berakhir di tengah laut. Mereka tenggelam ditelan ganasnya ombak.
Pada akhirnya, diperkirakan ribuan orang tewas di pulau tersebut. Banyak kematian yang tak dilaporkan atau tidak tercatat. Hanya menjadi sebuah catatan kelam sejarah pulau tersebut.
Pada tahun 1945, bom atom meluluhlantakan Hirosima dan Nagasaki yang berjarak sekitar 15 kilomter dari pulau ini. Bom itu telah meluluhlantakan dinding beton yang mengelilingi Hashima. Ini berarti menjadi momen kebebasan bagi para pekerja paksa di tambang itu, karena dinding yang selama ini memenjarakan mereka telah hancur.
Beberapa tahun setelah Perang Dunia II, Hashima kemudian dibangun kembali. Ini menjadi kunci penting membangun kembali Jepang yang tengah terpuruk akibat perang.
Selama periode perang korea (1950 - 1953) perekonomian Jepang juga mengalami pertumbuhan cepat. Di tahun ini, Hashima kembali mengalami masa kejayaan.
Hashima dibangun kembali dengan nuansa yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Perkembangan kali ini, sanggup menghapus sejarah kelam yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Pada masa ini, penduduk di Hashima sudah dimanjakan dengan berbagai barang hiburan elektronik yang masuk ke pulau tersebut. Sudah ada televisi, kulkas, radio, bahkan mereka juga sudah bisa menikmati air bersih setelah pada tahun 1957 dibangun pipa bawah laut yang menyalurkan air bersih ke pulau tersebut.
Para penduduk di Hashima juga telah dilatih untuk mengembangkan aneka produk sayuran dan taman gantung untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pendek kata, sebagian besar penduduk Hashima sangat puas dan menikmati kehidupannya itu.
Namun masa kejayaan ini juga tak bertahan lama. Sejak tahun 1960, Jepang mulai beralih memanfaatkan sumber daya listrik dari batu bara ke minyak. Ini artinya akan menjadi ancaman serius pada pemasok batu bara. Sejak saat itu, permintaan batu bara terus menyusut. Mitsubishi menanggung beban biaya produksi yang tak sedikit sementara penjualan minim. Akhirnya tahun 1974, Mitsubishi resmi menutup tambang tersebut setelah selama 84 tahun menjadi pemasok utama batu bara dengan jumlah produksi mencapai 16,5 juta ton.
Penutupan tambang telah memicu eksodus besar-besaran penduduk di Hashima. Mereka ramai-ramai keluar pulau meninggalkan apapun yang mereka bangun selama itu. Bahkan diibaratkan, Hashima yang ramai itu berubah menjadi tak berpenghuni hanya dalam satu malam.
Tidak ada upaya untuk membersihkan atau mengelola pulau itu. Hingga tinggal menyisakan sebuah kota mati di tengah laut.