Cerita Saat Air Tiba-tiba Mengalir Begitu Sultan Agung Menancapkan Tongkatnya

Sultan Agung menancapkan tongkatnya ke tanah, dan mengucurlah air yang mengalir ke lembah. Tempat itu akhirnya dinamakan Banyusumurup

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM / Krisna Sumargo
Berdiri terpencil di sebuah lembah perbukitan Mangunan, Masjid Banyusumurup memiliki riwayat panjang nan bersejarah. 

Hari-hari khusus yang biasanya ramai peziarah adalah Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon menurut hari pasaran Jawa. Di Banyusumurup, selain pasareyan Pangeran Pekik, ada situs penting lain yaitu Masjid Kagungan Dalem.

(Baca: Namanya Mertolulut, Sang Algojo Keraton Mataram. Begini Kisah Seram Tentangnya)

Masjid ini diduga seumuran, atau didirikan seumuran dengan pembangunan Makam Banyusumurup. Ada dua teori tentang kapan masjid ini dibangun. Ada yang berpendapat dibangun era Sultan Agung.

Kardi (78), warga Dusun Banyusumurup mendapat cerita legenda masjid ini erat kaitannya dengan pendirian sekaligus penamaan dusun lokasi.

Konon, suatu ketika Sultan Agung dan pengikutnya sedang mencari lokasi untuk makam raja.

Sesampai di suatu perbukitan, mereka istirahat. Ada yang haus dan juga hendak salat. Karena tidak ada air di sekitar, mereka mengadu ke Sultan Agung. Lantas raja sakti itu berkata, tak lama lagi mereka akan melihat air (sumurup banyu).

Sultan Agung menancapkan tongkatnya ke tanah, dan mengucurlah air yang mengalir ke lembah. Tempat itu akhirnya dinamakan Banyusumurup. Sebuah masjid juga didirikan tak jauh dari mata air tersebut.

Versi lain menyebut masjid didirikan bersamaan pembangunan makam Pangeran Pekik, kerabat dan pengikutnya. Ini terjadi pada masa kekuasaan Sunan Amangkurat (I), yang menggantikan Sultan Agung, ayahandanya yang mangkat.

Teori kedua ini agaknya lebih masuk akal karena masjid jadi kelengkapan utama sebelum pemakaman atau penziarahan. Makam Banyusumurup menjadi spesial karena dari riwayat sejarahnya memang khusus peruntukannya.

Makam ini jadi lokasi penguburan orang-orang penting dan masih kalangan berdarah biru yang dianggap membangkang atau melawan raja berkuasa, khususnya Amangkurat Tegalwangi (I).

Selain Pangeran Pekik yang putra Adipati Surabaya, dimakamkan pula perempuan muda yang kisahnya mengharubiru, yaitu Roro Oyi atau Roro Hoyi. Kisah Roro Oyi ini jadi sequel lanjutan cerita dramatis Ratu Malang yang dimakamkan di Gunung Kelir.

Kisah kedua perempuan malang ini berpusar di sekitar kehidupan Sunan Amangkurat (I) dan melibatkan trik intrik Adipati Anom, atau Pangeran Tejoningrat yang jadi Putra Mahkota, serta para elite di sekitarnya.

Pangeran Purbaya, yang terbilang kakek Putra Mahkota atau paman Sunan yang berkuasa, terlibat dalam intrik berdarah melibatkan Roro Oyi ini.

Dengan demikian pada satu masa sekitar 350 tahun lalu, makam Banyusumurup dijadikan kuburan massal korban hukuman raja akibat skandal Roro Oyi. Total jumlah yang dikubur di makam ini ada 52 jenazah dihitung dari penanda nisan yang ada.

Sebagian merupakan kuburan orang hukuman jauh sesudah masa Sunan Amangkurat (I) yang bergelimang darah. Termasuk makam Raden Ronggo Prawirodirdjo (III) yang amat terkenal karena memberontak pada masa Sri Sultan HB II.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved