Kisah Lansia di Kulonprogo Tiap Hari 'Ngonthel' Belasan Kilometer Antar Anaknya yang Down Syndrome

Pasangan Kamilah dan Hernowo setiap hari 'ngonthel' belasan kilometer untuk antarkan anaknya yang menderita down syndrome ke sekolah

Editor: Mona Kriesdinar
Hernowo mengendalikan kemudi sepeda, Kamilah mendorongnya, saat mendaki bukit. Wahyu tetap duduk di boncengan. Seperti inilah setiap hari Hernowo membawa Wahyu sekolah yang jauhnya belasan kilometer. Hernowo yang setengah tuli sejak lahir tidak menyerah menyekolahkan anaknya yang down syndrome. Di usia senja mereka, ia mengharapkan Wahyu bisa cepat mandiri.(KOMPAS.com/Dani J) 

Anak semata wayang ini tumbuh dengan suka sekali berlari tanpa henti sepanjang hari, tidak bisa menerima perintah dan peringatan.

Ia sulit bicara. Hernowo dan Kamilah kerap menemukan Wahyu memiring kepala ke samping, tatapan mata selalu kosong ke atas, mimik mukanya datar, dan tak bisa menyampaikan keinginan lewat kata-kata. Mereka belum curiga apapun sampai waktunya sekolah TK.

“Bocah iki melet-melet mangan ilat (menjulur-julurkan lidah dan makan lidah),” kata Kamilah.

Semakin usia bertambah, Wahyu makin sulit dikontrol. Emosinya tidak terkendali. Perjalanan hidup Wahyu bikin berantakan.
Semua barang sering dihambur begitu rupa. Kamilah jadi kerap tak sabar.

Memasuki usia 5 tahun, Hernowo dan Kamilah memasukkannya ke PAUD dengan harapan ada kemajuan bagi Wahyu.

“Baru tahu (DS) waktu dimasukkan ke TK. Bu (Guru) Sumiati bilang Wahyu harus masuk ke SLB ini,” kata Kamilah.

Hancur hati Hernowo dan Kamilah saat itu. Tetapi, mereka cepat pulih dari kecewa.

Mereka memutuskan untuk menyekolahkan Wahyu. Ia mengakui, Sumiati, guru PAUD itu, yang menguatkan hati mereka, mendorong dan memotivasi mereka demi hidup Wahyu di masa depan.

Mereka memasukkannya ke SLB Pengasih, awalnya. Kemudian, ketika usia 7 tahun, Wahyu pindah ke SLB di Panjatan, 11 kilometer dari rumah mereka.

Wahyu yang belum bisa mengendalikan diri membuat Hernowo dan Kamilah terpaksa harus selalu mengantarkannya ke sekolah.
Hernowo merelakan diri kehilangan Rp 20.000 per hari dari hasil mencuci piring di warung makan demi mengantar Wahyu sekolah.

Penghasilan minim membuat mereka tidak punya uang untuk membeli sepeda motor. Ongkos naik angkutan umum pulang dan pergi juga dirasa berat. Mereka terpaksa naik sepeda ontel yang biasa dipakai mencari rumput untuk kambing peliharaan di rumah.
Sepeda itu yang penting cukup kokoh untuk dibonceng dua orang.

Sepeda ontel ini berjasa sepanjang 5 tahun belakangan. Kaki kecil Hernowo mengayuhnya setiap hari belasan kilometer dari Anjir hingga Panjatan.

Tekad keduanya seperti baja. Kuat.

Sekalipun tidak bisa mengelak kalau telat karena jarak yang jauh dan cuaca, atau karena mereka sakit. Tapi bisa dikata Wahyu adalah siswa yang paling rajin sekolah.

“Wahyu ini anak yang aktif, hampir tidak pernah tidak masuk sekolah. Rajin sekolah,” kata Erlia Fatmasari Hadi, wali kelas 5C.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved