Kisah Lansia di Kulonprogo Tiap Hari 'Ngonthel' Belasan Kilometer Antar Anaknya yang Down Syndrome
Pasangan Kamilah dan Hernowo setiap hari 'ngonthel' belasan kilometer untuk antarkan anaknya yang menderita down syndrome ke sekolah
Mereka mengakui tidak bekerja lebih baik dari pada hari ini. Keduanya hanya mengenyam pendidikan sampai SD, tanpa keterampilan memadai.
Kamilah pernah jadi kuli batu, Hernowo pernah jadi tukang cuci piring di warung makan.
Setelah memiliki anak, Hernowo masih sulit mendapatkan pekerjaan yang cukup layak lantaran fungsi pendengarannya kurang baik. Orang harus bersuara sangat nyaring bila ingin komunikasi dengannya.
“Sebelum Wahyu sekolah, bapak kerja di warung asah-asah (mencuci piring). Upah Rp 20.000 sehari,” kata Kamilah.
Mereka tetap mensyukuri kehidupan ini. Soal makan, semua sudah disediakan alam. Sayur dan buah, kelapa tua untuk santan, dan beberapa rempah tersedia di halaman rumah. Pepaya, pohon pisang, dan singkong bisa jadi selingan. Setidaknya mereka jadi bisa beli beras, telur, mi instan.
“Wahyu suka sekali endog (telur). Kami bisa ambil jantung pisang untuk bikin jangan (sayur),” katanya.
Semua dijalani di sebuah rumah berdinding anyaman bambu dan kayu. Lantainya masih tanah, dan kayu penyangga rumah masih baru. Tidak ada sofa empuk, tidak ada kipas angin dan televisi. Hanya ada penerangan, itupun minim. Semua barang di dalam rumah merupakan harta turunan dari kakek buyut Hernowo.
Ruang utama rumah jadi satu semuanya di ruang depan, baik untuk tamu hingga tidur. Halaman rumah mereka luas, bersih, bahkan tebing di kanan kirinya nyaris tanpa rumput dan lumut. Pohon-pohon pepaya tumbuh tinggi di depan rumah. Ini berkat Kamilah yang rajin bersih-bersih dan merawat halaman.
“Kalau bapak ini mencari rumput untuk kambing sampai jauh ke Glagah (10-an kilometer). Dia maunya nyari rumput tok,” katanya.
Rumah tinggal Hernowo berada di balik hutan mungil yang berasa mistis dan tanpa jalan masuk memadai ke dalamnya. Tempat tinggal mereka di antara tebing tempat banyak pohon bambu tumbuh di sekelilingnya. Yakni jati, nangka, dan akasia.
Gemericik air sungai terdengar sampai rumah.
Bila berangkat sekolah, ketiganya harus melewati hutan mini ini. Jalan berbatu dan tanah gembur membuat mereka tidak mungkin menaiki sepeda di dalam hutan mini ini. Mereka menuntun sepeda hingga jalan raya paling atas.
Dari situ, mereka mulai menaiki sepeda dan melaju sampai ketemu jalan datar.
Tapi sesekali, ketika tanjakan, Hernowo dan Kamilah terpaksa mendorong sepeda.
Ketika jalan menurun landai ataupun datar, mereka menaikinya.
Baru tahu DS Wahyu lahir 8 tahun setelah pernikahan Hernowo dan Kamilah. Keduanya sudah berumur 40 tahun ketika itu.
Mereka tak menyangka Wahyu tumbuh dengan keterbelakangan mental (down syndrome).