Menguak Isi Prasasti Tlu Ron

Tiga Bulan Epigraf UGM Tjahjono Kerja Keras Menguak Misteri Prasasti Tlu Ron

Tjahjono menghabiskan waktu tiga bulan untuk menguak Misteri Prasasti Tlu Ron

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.com | Setya Krisna Sumargo
Epigraf FIB UGM, Tjahjono Prasodjo MA, saat menjelaskan hasil studi prasasti Tlu Ron pada Seminar Nasional Epigrafi di UC UGM, Rabu (7/3/2018) 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Epigraf UGM Drs Tjahjono Prasodjo MA memerlukan waktu sekurangnya tiga bulan untuk memecahkan misteri di Prasasti Tlu Ron (2015). Prasasti itu ditemukan bulan Juli 2015 di antara candi perwara utara dan tengah di situs Candi Kedulan.

"Ya, saya mulai intens membaca kira-kira bulan November 2017. Tapi ya tidak setiap hari dan setiap waktu. Hingga Januari (2018) baru bisa terbaca utuh," kata Tjahjono Prasodjo di sela-sela Seminar Nasional Epigrafi di University Club UGM, Rabu (7/3/2018). 

Baca: Wow! Inilah Pancuran Tempat Raja Balitung Mandi di Timur Candi Kedulan

Baca: Bendung Kuno Raja Balitung Itu Ada di Ngaliyan Widodomartani

Ia mengaku meneruskan pembacaan yang semula pernah dilakukan epoigraf dan ahli sejarah kuno Mataram, Dr Djoko Dwiyanto, yang mulai 1 April 2018 pensiun sebagai PNS.  

Proses pembacaanya menurut Tjahjono tidak mudah, meski kondisi prasasti batu andesit setebal 16 cm, tinggi 78 cm, dan lebar 78 cm itu kondisinya cukup bagus. Tulisannya relatif masih terbaca, meski lempeng batu itu terbelah. 

"Di bagian yang terbelah itu banyak aksara yang hilang. Namun bisa kita baca dengan memperkirakan berdasar aksara atau kata sebelum dan sesudah bagian yang pecah itu," kata kandidat doktor dari Universitas Leiden ini. 

Proses pembacaan dimulai dengan membaca satu persatu dari puluhan baris tulisan beraksara Jawa Kuno. Selanjutnya dialihaksarakan ke huruf Latin, baru ditranskripsikan ke bahasa Indonesia.

"Khusus untuk baris pertama, dialihaksarakan dari Sanskrit ke Latin, baru transkripsi ke bahasa Indonesia. Jadi prosesnya tidak sekali baca langsung jadi," ujarnya.

Bagian tersulit menurut Tjahjono ada di bagian awal, atau umumnya disebut manggala prasasti. Bagian ini menggunakan bahasa Sansekerta dan ada frasa-frasa yang sangat puitik sifatnya. Prasasti Tlu Ron ditulis menggunakan bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. 

Tjahjono pun akhirnya menggunakan sebagian hasil pembacaan ahli bahasa Sansekerta dari AS, Arlo Griffiths, yang sudah membaca prasasti Tlu Ron, namun belum diterbitkan hasilnya

Dari pembacaan Arlo Griffiths pula akhirnya terungkap hari dan tanggal tahun pembuatan prasasti ini. Tahun pembuatan prasasti terkuak dari chandra sengkala dalam bahasa Sanskrit, yaitu "dwidasradvipe". 

Dwi artinya 2, dasra itu kembar yang artinya 2 juga, dan dvipe itu gajah yang dalam sengkalan diberi nilai 8. "Dibaca terbalik jadi 822 (Tahun Saka). Itulah tahun dibuatnya prasasti ini," urai Tjahjono yang lebih menguasai bahasa Jawa Kuno ketimbang Sanskrit.

Tahun 822 Saka atau 900 Masehi artinya masa kekuasaan Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Darmodayyamahasambu. Ini raja Mataram Kuno yang dikenal banyak mengeluarkan prasasti, dan memberi informasi luar biasa kepada generasi kemudian. 

Dua prasasti hebat yang ditulis Dyah Balitung adalah prasasti Mantyasih (907 M) dan Prasasti Wanua Tengah III (908 M). Keduanya berisi versi urutan raja-raja yang pernah memimpin Mataram Kuno. Prasasti Wanua Tengah III isinya jauh lebih detail ketimbang Mantyasih. 

Epigraf senior Dr Riboet Darmosutopo, yang sepintas pernah membaca prasasti Tlu Ron, mengatakan isi prasasti ini memang jauh lebih rinci ketimbang dua prasasti dari Kedulan sebelumnya, Sumundul dan Panangaran. 

"Ini memang lebih rinci, terutama penyebutan siapa-siapa saja yang mendapat hadiah dari raja atas perannya masing-masing. Begitu pula dengan nama-nama desa asal para penerima pasek-pasek itu, disebutkan cukup jelas," kata Riboet dua pekan lalu.

Epigraf berusia 83 tahun ini sempat kesulitan menemukan angka tahun prasasti karena tida ditulis secara terang-terangan. Namun ia meyakini penanggalan itu dicantumkan di bagian awal yang berbahasa Sansekerta. 

Tjahjono menjelaskan, prasasti Tlu Ron memang secara terperinci menceritakan hal ihwal kegagalan pembangunan bendung (dawuhan) dan saluran air (wluran) yang diinisiasi sejak Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala pada 869 M, atau 31 tahun sebelumnya.

Disebutkan upaya pembangunan bendung pertama oleh seseorang (San (g) Lumah) yang disemayamkan di Tanar tak terselesaikan karena bencana. 

Orang kedua yang diserahi tugas, Rakai Padan Pu Manohari, juga gagal. Penugasan ke Pu Manohari ini ditulis di Prasasti Sumundul dan Panangaran.

Orang ketiga, Rakai Hino Pu Aku yang mendapat tugas selanjutnya, juga gagal menuntaskan. Faktor terbesar kegagalan diduga kuat tingginya intensitas gangguan banjir lahar dari Merapi. Namun akhirnya di tangan Makudur San (g) Relam, proyek berhasil dituntaskan setahun lamanya.

Begitu proyek selesai, hasil pekerjaan dilaporkan ke Raja Balitung. Dari situ raja memerintahkan kepada pihak-pihak terkait di sekitar bendung maupun penguasa dusun/desa yang dilalui saluran air, agar diberi hadiah.

Aturan pemanfaatan air juga ditulis supaya tidak ada yang mengkomersialkan. Bagi para pelanggar aturan pemanfaatan air irigasi diumumkan akan dikenai denda satu kati dan lima tahil emas. 

Prasasti Tlu Ron secara jelas menulis nama seorang penjaga bangunan suci di Tlu Ron (Candi Kedulan) yaitu Dapunta Manhutani. Sedangkan prasasti itu ditulis seorang citralekha bernama San (g) Hadyan Sumudan Dapunta Widyanidhi. 

Bagi Tjahjono, sesuatu yang menarik dari prasasti Tlu Ron, dan belum banyak dikaji, adalah aspek-aspek teknis hidrologi dan ekonomi yang ditulis cukup jelas. "Selama ini yang jamak dibahas aspek religiusnya," jelasnya.

Prasasti Tlu Ron yang ditemukan sekitar Juli 2015 di situs Candi Kedulan, saat ini berada di kantor Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) DIY di Bogem, Kalasan, Sleman.(Tribunjogja.com/xna)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved