Lipsus Tanah Sultan Ground

Tanah Wedi Kengser Tidak akan Bisa Diberi Kekancingan

Melalui beberapa aduan dan kasus klaim tanah dari turunan Hamengku Buwono, Suyitno meminta agar masyarakat waspada.

Penulis: Agung Ismiyanto | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM / Agung Ismiyanto
Mbah Ngadiwiyoto, warga Gamping Lor, Ambarketawang, Sleman menunjukkan tanah yang digarapnya selama puluhan tahun telah dipatok-patok oknum yang mengaku dari trah Sri Sultan HB VII. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pakar pertanahan yang juga anggota Parampara Praja Bidang Pertanahan Pemda DIY, Suyitno mengatakan, tanah adalah benda tidak bergerak yang  jikalau ada peralihan hak, harus ada prosedur hukum, dan ada perjanjian dari pihak yang mengalihkan, yakni dengan diproses balik nama.

Jika tanpa surat-surat yang resmi dan legal, itu sama saja dengan tanah bodong.

Tanah pun, ujarnya, sama dengan manusia tidak bisa saling diklaim sebagai hak milik.

Di dalamnya harus ada proses hukum.

Melalui beberapa aduan dan kasus klaim tanah dari turunan Hamengku Buwono, Suyitno meminta agar masyarakat waspada.

Modus yang selama ini dilakukan adalah dengan cara mudah dan menjual tanah murah.

Baca: Sultan: Laporkan ke Panitikismo

“Jadi dalam hal ini perlu masyarakat berpikir, masak kerabat keraton kok menawarkan tanah kemana-mana. Namanya tidak logis, tidak masuk akal dan tidak nalar, “ ulasnya.

Wedi kengser

Adapun jika melihat status tanah berupa wedi kengser, kata Suyitno, merupakan tanah Kagungan Dalem yang sulit untuk mendapatkan kekancingan.

“Wedi kengser adalah tanah kagungan dalem. Itu tanah tidak berstatus dan tidak akan bisa diberi kekancingan, “ katanya.

Hal ini sama dengan tanah wedi kengser di sepanjang Sungai Code yang saat ini dihuni oleh ratusan warga.

Pihak pemerintah maupun keraton tidak akan memberikan surat legalisasi.

Pasalnya, daerah wedi kengser ini adalah kawasan yang tidak boleh digunakan untuk permukiman.

Baca: Penebangan Pohon di Lahan Mbah Ngadiwiyoto Akhirnya Dihentikan

“Nanti kalau dilegalkan terjadi banjir dan masyarakat bisa menuntut ganti rugi. Padahal, jelas-jelas dilarang tinggal di situ, “ papar dosen hukum agraria UGM ini.

Kendati demikian, pihaknya tetap meminta masyarakat untuk bisa mengecek status tanah ini pada pihak keraton melalui Panitikismo.

Masyarakat nantinya bisa mengetahui tanah tersebut berstatus sebagai Sultan Ground dan proses pengurusan kekancingan.

Berdasarkan sejarah, tanah yang tidak bertuan atau berstatus hak milik dan tanah negara di DIY masuk menjadi tanah SG.

Pihaknya pun sejauh ini masih melakukan inventarisasi pada tanah SG yang tersebar di Yogyakarta.

“Inventarisasi belum selesai. Untuk mendapat data akurat baik fisik dan yuridis perlu waktu dan proses yang lama, apalagi kalau itu belum ada yang mengaku dan membuktikan hak milik sebagai tanah kasultanan, “ jelasnya yang belum mengetahui berapa luasan SG di Yogya. (TRIBUNJOGJA.COM)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved