Mantan Penolak Bandara Ini Geram, Ganti Rugi Tanahnya Dikonsinyasikan Atas Nama Orang Lain
Ganti rugi bidang lahan yang diklaimnya itu kini sudah ditetapkan melalui konsinyasi namun atas nama Sawen sebagai ahli waris pemilik tanah terdahulu.
Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOJGA.COM, KULONPROGO - Masalah pelik seputar sengketa kepemilikan tanah masih menghantui proses pembebasan lahan pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Temon.
Satu di antaranya yang terjadi pada warga terdampak proyek di Glagah, Sukarjo.
Ia mengaku memiliki persil tanah tegalan hasil warisan yang terkena proyek pembangunan bandara.
Luasan tanah di Pedukuhan Sidorejo itu sekitar 2.300 meter persegi dengan nilai ganti rugi lebih dari Rp1 miliar.
Hanya saja, alih-alih diterimanya, uang kompensasi itu hingga kini masih disimpan Pengadilan Negeri (PN) Wates dan belum dicairkan.
Ganti rugi bidang lahan yang diklaimnya itu kini sudah ditetapkan melalui konsinyasi namun atas nama orang lain yakni Sawen sebagai ahli waris pemilik tanah terdahulu.
"Keputusan penetapan konsinyasi itu diatasnamakan orang lain. Padahal, sudah lebih dari 50 tahun belakangan ini kami yang menggarap tanah itu," kata Sukarjo, Jumat (26/1/2018).
Bidang tanah tersebut dulunya diketahui milik almarhum ayah Sawen, Pawiro Wijoyo.
Tanah ladang tersebut lalu dibeli ayah Sukarjo, Kromo Sentono yang hingga saat ini masih hidup dan tanah itu kemudian diwariskan kepadanya untuk digarap.
Sukarjo mengaku mengantongi alas hak kepemilikan tanah berupa Letter C, gambar letak persil tanah, dan bukti pembayaran pajak bumi dan bangunan untuk bidang tanah tersebut atas nama ayahnya.
Hingga kemudian, ia harus merelakan tanah tersebut terpakai oleh proyek bandara.
Karena saat pada masa awal pembebasan lahan itu Sukarjo termasuk warga penolak bandara, ganti rugi bidang tanah tersebut akhirnya dilakukan melalui konsinyasi di pengadilan.
Masalah pun terus berlanjut.
Pada 24 November 2017, dirinya menerima surat panggilan sidang konsinyasi 28 November 2017 yang dialamatkan atas nama ayahnya.
Sidang pembuktian kepemilikan itu tidak berjalan mulus karena luasan tanah dianggap berbeda dari penghitungan tim appraisal (penaksir) maupun dokumen Letter C yang dimiliki desa.
Sidang akhirnya ditangguhkan hingga dua minggu namun setelah itu Sukarjo tak lagi menerima surat panggilan sidang apapun.
Di kemudian hari justru ia mendapat informasi bahwa bidang tanah itu sudah menjalani penetapan konsinyasi dan tinggal menunggu pencairan.
Masalahnya, setelah sidahg pertama gugur, keputusan penetapan itu bukan atas namanya melainkan Sawen sebagai ahli waris pihak pertama.
"Padahal bapak saya sudah memasukkanya ke Letter C. Versi pengadilan, mereka sudah mengundang untuk sidang penetapan namun disebutnya saya tidak hadir," kata Sukarjo.
Dirinya sudah mencoba mengkomunikasikannya dengan pemerintah desa maupun pihak Sawen.
Hanya saja, tidak ada kejelasan dan cenderung lempar tanggung jawab.
Pihak Sawen pun berkukuh sikap bahwa tanah itu hak milik mereka.
"Harapan saya, ini bisa kembali pada kami karena ini hak milik kami. Sudah 50 tahun kami bayar pajak tanah itu. Ada wacana mau menggugat namun konsultasi dulu dengan pengacara," kata Sukarjo.(*)