Sisi Lain Makam Banyusumurup
Roro Oyi, Kisah Tragis Gadis Surabaya di Tangan Amangkurat I
Ada empat tiang pipa besi mengelilingi pusara yang konon beberapa tahun lalu direhab seorang juragan teh terkenal.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM - Petak makam itu telah dikeramik putih dan menempati ruang utama komplek Makam Banyusumurup, Girirejo, Imogiri.
Ada empat tiang pipa besi mengelilingi pusara yang konon beberapa tahun lalu direhab seorang juragan teh terkenal.
Tiang besi itu di dipasangi kain mori putih yang disebut langse, dan pusaranya terbungkus kain sama yang disebut singep. Letak pusara itu terpisah dengan nisan- nisan lain di sisi kanan depan membujur ke utara.
Itulah pusara dan lokasi pemakaman Roro Oyi, gadis beranjak dewasa asal tepian Kali Mas, Surabaya. "Di situlah Roro Oyi atau Roro Hoyi dikebumikan," kata Mugi Wiharjo.
"Tidak ada penanda khusus, dan sejarah turun temurun mengatakan demikian," lanjut abdi dalem dan juru kunci Makam Banyusumurup ini di lokasi makam, Kamis (4/1/2018).
Kematian gadis yang konon sangat cantik sekitar 350 tahun lalu sangat mengenaskan. Drama kehidupannya mengiris-iris kemanusiaan di tengah kekuasaan Sunan Amangkurat I yang bergelimang darah.
Baca: Awan Gelap dan Kilatan Petir Iringi Pemindahan Makam Raden Ronggo Prawirodirdjo III
Kisah Roro Oyi ini mewarnai banyak cerita tutur dan babad. Data faktual sejarah yang umumnya berasal dari catatan dan laporan Belanda, hanya menuliskannya samar- samar.
Episode Roro Oyi ini tidak bisa dilepaskan dari kisah asmara Sunan Amangkurat I dengan Ratu Malang sekitar 1665. Cerita tutur Jawa menghubungkan kisah Roro Oyi ini dengan Pangeran Pekik.
Namun menurut peneliti sejarah Mataram, HJ de Graaf, ada kekeliruan serius mengaitkan Pangeran Pekik dengan kisah Roro Oyi. Sebab, Pangeran Pekik telah dieksekusi mati pada kisaran tahun 1659 oleh Sunan Amangkurat I.
Artinya, ini jauh sebelum episode cerita Ratu Malang dan Roro Oyi. De Graaf menyodorkan Pangeran Purbaya sebagai sosok yang punya kontribusi besar tertumpahnya darah Roro Oyi dan orang-orang di sekelilingnya.
Dari data yang ditelaah De Graaf berdasar laporan tertulis Belanda itu, Pangeran Pekik dan keluarganya merupakan orang-orang yang dikuburkan di Banyusumurup saat awal-awal dipilih sebagai lokasi makam para terhukum.
Baru kemudian menyusul Roro Oyi, yang memang punya hubungan sejarah atau mungkin kekerabatan dengan Pangeran Pekik itu. Belakangan Raden Ronggo Prawirodirjo III yang melawan Belanda pada era HB II, juga dikubur di situ.
Kisah tragis Roro Oyi bermula saat Sunan Amangkurat I yang berselimut duka akibat ditinggal Kanjeng Ratu Malang, meminta dicarikan gadis yang bisa menggantikan sosok istri dalang Panjang Mas itu.
Dua mantri kapedhak, Noyotruno dan Yudakarti ditugasi mencari sosok itu. Petunjuknya, sosok itu harus berasal dari daerah dengan air sumurnya yang wangi. Ketemu lah di tepi Kali Mas Surabaya.
Baca: Kesunyian di Lembah Makam Para Hukuman Raja
Pangeran Pekik semasa berkuasa di Kadipaten Surabaya, memiliki seorang mantri kepercayaan, Ngabei Mangunjaya. Roro Oyi yang masih belia itu putri dari Mangunjaya, sosok yang akhirnya dibawa menghadap Sunan di Kraton Pleret.
Sunan senang melihat bocah cantik berusia 8 atau 11 tahun itu, namun menganggapnya terlalu kecil. Bocah itu akhirnya dititipkan ke mantri kapedhak Ngabei Wirorejo, agar dibimbing hingga dewasa sampai siap dibawa masuk istana.
Beberapa tahun kemudian ketika Roro Oyi yang beranjak dewasa, benih masalah muncul. Bermula dari Pangeran Tejoningrat atau Pangeran Adipati Anom yang berstatus Putra Mahkota, mampir ke rumah Ngabei Wirorejo.
Tak sengaja ia melihat Roro Oyi saat sedang membatik bersama ibu angkatnya. Pangeran itu jatuh cinta pada pandangan pertama. Begitu mabuk kepayangnya, sampai ia jatuh sakit di rumah pribadinya.
Keadaan itu didengar kakeknya, Pangeran Purbaya, yang begitu menyayangi pangeran muda itu. Dalam silsilah Mataram, Pangeran Purbaya ini adalah kakak Sultan Agung, yang berarti paman dari ayahnya, Sunan Amangkurat I.
Purbaya kemudian mendatangi rumah Ngabei Wirarejo, memaksa agar Roro Oyi diserahkan agar derita cucunya disembuhkan. Wirarejo sempat menolak karena takut dengan raja yang menitipkan bocah itu ke dirinya.
Namun akhirnya ia tidak bisa menolak setelah Purbaya berjanji akan menanggung semua akibat keputusan itu. Roro Oyi diserahkan dan dibawa ke kadipaten dan akhirnya digauli Putra Mahkota.
Sunan Amangkurat yang mendapat laporan kejadian itu murka besar. Kemarahannya begitu hebat dan memerintahkan semua pihak yang terlibat "penyerahan" Roro Oyi dihukum mati tanpa pandang bulu.
Ngabei Wirorejo berikut anggota keluarganya dibuang ke Ponorogo, namun belakangan semuanya dihabisi di tengah perjalanan. Tidak ditemukan data tentang apa hukuman untuk Pangeran Purbaya dan keluarganya.
Hanya saja data sejarah mencatat Pangeran Purbaya yang sudah uzur tewas dalam pertempuran di Gegodog pada 13 Oktober 1676, saat menghadapi serangan Trunojoyo.
Korban jiwa aksi pemusnahan massal akibat skandal Roro Oyi ini ada yang menyebut 40 hingga 60 jiwa. Roro Oyi akhirnya terpaksa dibunuh oleh tangan Putra Mahkota, atas perintah paksa Sunan atau ayahandanya.
Jasadnya dikubur di Banyusumurup, disatukan dengan Pangeran Pekik dan pengikut setianya. Sesudah semuanya yang terlibat tumpas kelor, Putra Mahkota dibuang ke alas Lipura. Kadipaten dibakar habis, semua isinya dijarahrayah.
Tragedi Roro Oyi berikut semua dampaknya itu diperkirakan terjadi antara tahun 1668- 1670. Laporan tertulis Belanda yang mencatat rangkaian kejadian dramatis itu berangka tahun 1669 dan 1670.
Demikianlah, Roro Oyi, gadis malang dari Surabaya itu tewas dalam usia beranjak dewasa, menjadi korban trik intrik, pertikaian kejam ayah-anak, para paman, bibi dan para bangsawan di Pleret. (*)