Menikah dengan Rekan Satu Kantor Diperbolehkan, Begini Kisah Galau Seorang Mantan Pegawai BUMN
Ia sempat heran dengan pencetus aturan, yang melarang sesama pegawai di satu perusahaan untuk menikah.
Penulis: say | Editor: oda
TRIBUNJOGJA.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (14/12/2017), menjadi babak baru bagi pegawai yang ingin menikah dengan teman satu kantornya.
MK mengabulkan permohonan uji materi Pasal 153 Ayat 1 Huruf f Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang awalnya melarang karyawan di satu perusahaan untuk menikah.
"Amar putusan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim MK Arif Hidayat dalam sidang pleno di gedung MK, Jakarta Pusat, seperti TribunJogja.com kutip dari Kompas.com.
Berdasarkan pertimbangan MK, pertalian darah ataupun perkawinan adalah takdir, yang tidak ada hak orang lain yang terganggu.
Perusahaan yang melarang karyawannya menikah sehingga menjadi alasan untuk pemutusan hubungan kerja (PHK), tidak sejalan dengan norma Pasal 28 D Ayat (2) UUD 1945.
Larangan itu juga tidak sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights.
MK juga menyatakan frasa "kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama" dalam Pasal 153 Ayat 1 Huruf f, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Desmaniar, seorang mantan pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang juga menikah dengan sesama pegawai, mengaku kecewa mengapa aturan itu baru ada.
Ia terpaksa ke luar dari perusahaan tempatnya bekerja, karena adanya aturan tersebut.
Ia sempat heran dengan pencetus aturan, yang melarang sesama pegawai di satu perusahaan untuk menikah.
Pasalnya kata Desmaniar, jodoh dan menikah adalah takdir yang tak dapat dihindari.
"Lagian itu aturan usulnya siapa sih? Berdosa kali ya membatasi jodoh orang lain," ujarnya sambil tertawa.
Menurutnya, karyawan yang menikah tak akan merugikan perusahaan karena bergantung pada kepribadian masing-masing.
Terlebih, perusahaan seharusnya juga sudah tahu bagaimana karakter karyawannya, ketika seleksi dilakukan.
Ditambah lagi, proses seleksi masuk ke sebuah perusahaan tidaklah mudah, sehingga aturan itu cukup merugikan.
