Pemilik Tambak dekat Kawasan Bandara Kulonprogo Inginkan Ganti Rugi Jika Digusur
Mereka berharap pemerintah mengajak diskusi sebelum rencana penertiban areal sempadan itu dilaksanakan.
Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, KULONPROGO - Para pemilik tambak di pesisir Temon merasa keberatan jika kolam udangnya digusur tanpa ada ganti rugi sepeser pun.
Mereka berharap pemerintah mengajak diskusi sebelum rencana penertiban areal sempadan itu dilaksanakan.
Pemerintah Kabupaten Kulonprogo memang berencana menertibkan areal sempadan di wilayah Pantai Glagah hingga Pantai Congot yang disinyalir disalahgunakan.
Dari pendataan yang dilakukan, didapati ada ratusan bangunan gedung dan non gedung berdiri di atas sempadan, termasuk ratusan petak kolam tambak udang.
Hal itu dianggap telah menyalahi aturan terkait lingkungan dan tata ruang.
Seorang petambak warga Pedukuhan Sangkretan, Desa Glagah, Yadi, mengaku tak berharap tambak udangnya digusur.
Baca: Lokasi di Sempadan Pantai, Ratusan Tambak Dekat Bandara Temon Bakal Ditutup
Namun, jika penertiban memang akan dilakukan, seharusnya ada komunikasi terlebih dulu antara Pemkab dan ratusan pemilik tambak.
Selama ini diakuinya belum ada sosialisasi apapun dari Pemkab Kulonprogo terkait rencana penertiban sempadan pantai.
"Kalau sempadan mau ditata ya silakan. Tapi, kami berharap bisa duduk bersama dengan Pemkab, rembugan dengan penambak daru ujung barat sampai timur. Ingin ada solusi supaya kami tidak kehilangan mata pencarian," kata Yadi, Jumat (17/11/2017).
Saat ini ada ratusan warga yang menggantungkan nafkah dari tambak budidaya udang di pesisir Desa Glagah, Palihan, Jangkaran, Sindutan, hingga Jangkaran tersebut.
Mereka menambak di areal paku Alam Ground (PAG) di luar pagar lahan pembangunan bandara.
Yadi mengaku belum lama membuka kolam tambak berukuran 40x39 meter di wilayah Pedukuhan Sidorejo, udang yang dibudidayakannya baru berumur 52 hari.
Modal sedikitnya Rp100 juta telah dikeluarkannya untuk membuka kolam budidaya udang tersebut.
Lahan semula berupa ladang cabai namun diubah jadi kolam budidaya setelah sebagian luasannya terakuisisi untuk pembangunan bandara.
Maka itu, dirinya berharap tambak udangnya tak ditutup karena ia tak punya sumber nafkah lain mengingat ladang cabainya sudah hilang.
Jikapun harus ditutup, dirinya ingin ada ganti rugi diberikan kepada penambak mengingat besarnya modal yang telah dikeluarkan.
"Kalau mau dibongkar ya setidaknya ada tawar menawar dulu," kata Yadi.
Harapan serupa diungkapkan penambak dari Desa Jangkaran, Muheri.
Ia khawatir jika rencana penertiban sempadan pantai itu jadi dilakukan sumber nafkahnya akan hilang.
Menurutnya, kolam tambak udangnya di wilayah Pedukuhan Nglawang seluas 3.500 meter persegi itu berada di luar petak lahan bandara sesuai Izin penatapan Lokasi (IPL).
Ia mengaku tak paham jika lahannya itu termasuk sempadan pantai atau bukan sedangkan selama ini dirinya belum pernah mendapat sosialisasi dari pemerintah.
"Ada warga yang pernah dipanggil pemerintah dan diberitahu bahwa di sana tidak boleh untuk tambak. Tapi ya tetap jalan terus tambaknya. Kalau tambak saya digusur, harapan saya ada ganti ruginya krena tidak saya tidak punya sumber nafkah lagi selain tambak ini," jelasnya.(TRIBUNJOGJA.COM)