Situs Prasejarah di Gunungkidul Ini Simpan Misteri Besar Peradaban Jawa
Arkeolog Wollongong University, Australia yakin akan menemukan jejak awal manusia prasejarah, penghuni Gua Braholo.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Ikrob Didik Irawan
TRIBUNJOGJA.COM - Thomas Sutikna PhD, arkeolog Wollongong University, Australia dan tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, yakin akan menemukan jejak awal manusia prasejarah, penghuni Gua Braholo.
Pada penelitian lanjutan di Gua Braholo dari 10 Oktober-10 November 2017, indikator keberadaan penghuni awal gua prasejarah di Desa Semugih, Rongkop, Gunungkidul itu makin jelas.
Penelitian stratigrafi (perlapisan tanah) menunjukkan hasil di lapisan terbawah yang sudah digali sedalam hampir 8 meter, memperlihatkan jejak kehidupan atau peradaban usia 33.000 tahun sebelum Masehi.
"Ini termasuk sangat tua. Di lapisan inilah ditemukan artefak-artefak fauna besar, selaras dengan usia peradaban awal Holosen atau kemungkinan akhir Plestosen," kata Thomas.
Baca: Australomelanesid, Hominid Raja Gua
Hasil ekskavasi 1998, sisa rangka fauna besar yang ditemukan di lapisan bawah antara lain kelas Bovidae (kerbau, sapi, banteng), Hippopotamidae (kuda sungai/kuda nil), Rhinoceridae (badak), dan Elephantidae (gajah).
"Ini lapisan masih bisa diteruskan penggaliannya, belum steril. Jadi kita tidak tahu ada apa di lapisan lebih bawah lagi," lanjut pria kelahiran Baleharjo, Wonosari, Gunungkidul ini.
Penelitian juga akan melengkapi analisa pollen (serbuk sari), guna mengetahui bio lingkungan di masing-masing lapisan peradaban yang pernah hidup di gua ini.
Peneliti juga akan menganalisa perlapisan abu vulkanik di lapisan endapan gua, guna mengetahui dari masa asal usul abu vulkanik itu, dan kapan kira-kira ada letusan gunung berapi yang materialnya masuk ke dalam gua tersebut.
Perburuan jejak awal manusia modern jadi target karena menurut Thomas Sutikna, data fakta temuan tentang itu masih sangat minim.
"Terutama periode 40.000 sampai 60.000 tahun. Ini blank periode, yang temuannya masih sangat minim," jelas Thomas.
"Gua Braholo di Gunungkidul ini punya potensi besar menjawab misteri itu," lanjutnya.
Baca: Situs Gua Braholo Gunungkidul Sangat Penting
Lanjutan
Ekskavasi di Gua Braholo sebulan terakhir ini merupakan lanjutan penelitian dan ekskavasi terdahulu, yang dilakukan Puslit Arkenas dan paleontolog senior, Dr Truman Simanjuntak.
Hasil penelitian tim Truman Simanjuntak di Gua Braholo ini ditemukan kerangka manusia modern (homo sapiens) berusia sekitar 8.000 dan 10.000 tahun. Dari rasnya, bercirikan Australomelanesid.
Temuan lain pada penelitian terdaulu menggambarkan betapa Gua Braholo telah menjadi hunian berkelompok-kelompok manusia prasejarah, selama belasan ribu hingga puluhan ribu tahun, secara bergantian.
Ketua Tim Penelitian Gua Braholo, Drs Jatmiko MHum dari Puslit Arkenas juga meyakinkan, Gua Braholo memiliki kontribusi sangat penting dalam sejarah hunian panjang di kawasan Gunung Sewu.
"Pertanyaan yang belum terjawab tuntas, bagaimana karakteristik situs hunian ini, yang berkelanjutan dari fase awal hingga akhir?" kata arkeolog senior yang akrab disapa Pak Ako ini.
Selain Thomas Sutikna, Jatmiko, turut bergabung dalam penelitian ini E Wahyu Saptomo, juga dari Puslit Arkenas. Tiga orang ini bukan tokoh-tokoh sembarangan di jagat arkeologi nasional maupun internasional.
Trio inilah yang bersama Prof Michael John "Mike" Morwood (New England University), beberapa tahun lalu mengejutkan dunia dengan temuan manusia hobit dari Flores.
Homo Floresiensis yang berukuran mini diyakini spesies baru Homo Erectus yang terisolasi di Pulau Flores.
Temuan itu membuat trio arkeolog Indonesia ini oleh Thomson Reuters dinobatkan sebagai ilmuwan paling berpengaruh pada 2014.
Temuannya mengguncang dan berdampak pada sejarah manusia purba yang dikenal selama ini.
Kembali menurut Thomas Sutikna, informasi tentang sejarah dan migrasi homo sapiens di Indonesia sangat minim. Temuan-temuannya pun juga amat sangat terbatas, terutama yang periode awal dan tengah.
"Satu-satunya yang kita ketahui dengan usia yang cukup tua adalah temuan di Wajak (Tulungagung), yang dikenal dengan manusia Wajak atau Homo Wajakensis. Namun temuan ini minim data pendukung karena tidak diketahui konteks temuannya," jelas Thomas.
"Pertanggalan relatifnya diperkirakan 40.000 tahun. Tapi sangat minim data pendukung, selain karena saat ditemukan teknologi dan ilmu pengetahuan terbatas, fosil itu tidak lagi insitu (berada di lokasi asli)," lanjutnya.
Setelah temuan manusia Wajak yang diperkirakan hidup pada periode 40.000 hingga 25.000 tahun, belum ada lagi temuan lain di Indonesia.
Di Gua Niah, Serawak, Malaysia, ditemukan jejak homo sapiens usia 42.000 hingga 39.000 tahun.
Gua Laili
Di Gua Laili, Timor Leste, ditemukan rangka manusia berusia 44.000 tahun. Sementara di Australia Utara ditemukan berusia 55.000 tahun.
"Ini sangat menarik!" kata alumni Fakultas Sastra Budaya UNS merujuk teori migrasi homo sapiens yang diyakini dimulai sejak 100.000 tahun lalu.
"Jika teori Out of Africa, migrasi manusia modern dimulai seratus ribu tahun lalu, dan di Australia ditemukan homo sapiens berusia 55.000 tahun, logikanya di wilayah Indonesia lebih tua, karena jalur migrasinya lewat wilayah ini," beber Thomas.
Jika 100.000 tahun lalu keluar Afrika, katakanlah 80.000 tahun lalu ada di Middle East, tentu periode berikutnya, kemungkinan melintasi Asia dan Nusantara, sebelum mencapai Australia.
"Ini yang amat sangat menantang kita. Di suatu tempat, entah di mana, mungkin di Braholo, Punung atau tempat lain, generasi awal dan tengah homo sapiens itu terbaring. Jejaknya ada, tapi individu manusianya belum ditemukan," tukasnya.
Wilayah Indonesia dipastikan menjadi jalur migrasi manusia modern, maupun manusia purba, mengingat dua wilayah besar di Nusantara pernah menjadi satu daratan dengan benua Asia maupun Australia.
Di wilayah barat dikenal dengan istilah paparan Sunda, dan di timur paparan Sahul. Menyatunya daratan Kalimantan, Jawa, Sumatera dengan Asia terjadi di zaman es (glasial). Begitu juga daratan Papua pernah menyatu dengan Australia.
Peristiwa ini terjadi ketika suhu udara di bumi anjlok drastis, menyebabkan pembekuan masif es di kutub. Permukaan laut saat itu turun hingga lebih kurang 120 meter dari muka air laut saat ini.
Dataran luas pun membentang di Asia Tenggara. Selat Sunda, Laut Jawa, dan sebagian Laut Cina Selatan berubah jadi daratan tropis dalam jangka waktu sangat lama. Zaman es diperkirakan berakhir 11.000 tahun lalu.
Air laut naik, dan terbentuklah kembali pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa seperti yang dikenal saat ini. Papua dan benua Australia pun kembali dipisahkan lautan.
Bagi Thomas Sutikna, menemukan jejak manusia modern di rentang periode 40.000 hingga 60.000 tahun sebelum Masehi sangat penting untuk merajut sejarah kehidupan sekarang ini.
"Periode ini sekali lagi masa gelap bagi sejarah kita. Padahal kita punya ikatan langsung dengan mereka, tapi kita sendiri tidak punya banyak pengetahuan," kata murid langsung Prof RP Sudjono, perintis dunia arkeologi Indonesia ini. (xna)