Pembentukan Densus Tipikor Polri tidak Masalah, Asalkan Sesuai dengan Perundang-undangan
Dengan biaya yang hampir mencapai Rp 3 triliun, harapannya Densus Tipikor tidak tebang pilih dalam pelaksanaan tugasnya.
Laporan Reporter Tribun Jogja, Pradito Rida Pertana
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Terkait rencana Kapolri, Jenderal Tito Karnavian dalam pembentukan Datasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Mabes Polri dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI hari ini, Kamis (12/10/2017).
Mendapat tanggapan dari Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT UGM), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).
Hifdzil Alim, peneliti Pukat UGM mengatakan, pada dasarnya semakin banyak lembaga pemberantasan korupsi dibentuk maka akan semakin bagus dan dapat menekan tindak korupsi di Indonesia.
Namun, dalam pembentukan lembaga pemberantasan korupsi seperti Densus Tipikor nantinya diharapkan tetap berjalan sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
"Idealnya, semakin banyak lembaga pemberantasan korupsi itu bagus, hanya jika benar dibentuk harus tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku," katanya, Kamis (12/10/2017).
Lanjutnya, Kejaksaan sendiri dengan Undang-undang nomor 16 tahun 2004 yang berisi mengenai kewenangan dalam menentukan penyidikan, maupun pengembangan tindak pidana khusus seperti korupsi.
Begitu juga dengan Kepolisian juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan.
"Kejaksaan boleh membuat lembaga khusus, untuk Kepolisian juga, karena sesuai dengan KUHP mereka punya kewenangan untuk melakukan penyidikan terkait tindak pidana polisi juga. Artinya kalau Polri mau buat densus tipikor itu boleh dan tidak masalah. Hanya saja harus sesuai dengan perundang-undangan," jelasnya.
Sambungnya, KPK adalah lembaga yang mempunyai kewenangan supervisi, yaitu memiliki kewenangan untuk mengambil alih sebuah kasus korupsi yang tengah ditangani oleh penegak hukum lain.
Sehingga, jika memang nantinya pembentukan Densus Tipikor dari Polri terealisasi dan saat menangani kasus korupsi diambil alih KPK harus merelakan kasus tersebut ditangani KPK.
"Jadi jika Densus Tipikor dibentuk, dan misalnya sedang menangani perkara korupsi. Sedangkan KPK menilai bahwa kasus itu harus ditangani KPK ya harus dikasihkan. Tidak boleh tetap ditangani densus, karena dalam ketentuan undang-undang menyatakan kewenangan menangani kasus korupsi adalah satu arah, bukannya dua arah," urainya.
Dijelaskannya pula, jika nanti muncul opini bahwa pembentukkan Densus Tipikor Polri hanya untuk berkompetisi itu boleh-boleh saja.
Karena berkompetisi untuk tujuan ke arah yang baik yaitu memberantas korupsi.
"Kalau dinilai Densus Tipikor dan KPK berkompetisi itu sah-sah saja, selama semuanya berorientasi untuk memberantas korupsi, bukannya untuk melindungi oknum tertentu," paparnya.
Dengan biaya yang hampir mencapai Rp 3 triliun, jika benar dibentuk, harapannya Densus Tipikor tidak tebang pilih dalam pelaksanaan tugasnya.
Ia menilai jika semisal dalam pelaksanaannya tebang pilih maka harus dihentikan, karena sama saja merugikan negara.
"Semisal dalam pelaksanaan Densus Tipikor hanya untuk melindungi korps Polri yang terkena kasus korupsi, ya jangan dibentuk. Karena kan rugi juga negara membiayai Rp 2,6 triliun jika semisal berakhir dengan kepentingan tertentu," ulasnya.
"Karena takutnya kan begini, kalau sudah dibentuk tiba-tiba Densus Tipikor Polri membuat MoU yang isinya semua dugaan kasus yang terindikasi korupsi harus ditanganinya. Itu jelas tidak boleh, karena sama saja mengebiri substansi Undang-undang. Namun kalau dibentuknya memang murni memberantas korupsi, tidak melindungi korpsnya itu tidak masalah," imbuhnya. (*)