Bahasa Inggris, Sinyal, Sampai Regenerasi Jadi Masalah Pengrajin Batik Giriloyo
Selain tuntutan berinovasi demi tetap mendapat pasar, para pengrajin batik di Kampung Batik Giriloyo dihadapkan pada tantangan lain.
Penulis: Susilo Wahid Nugroho | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Selain tuntutan berinovasi demi tetap mendapat pasar, para pengrajin batik di Kampung Batik Giriloyo dihadapkan pada tantangan lain.
Salah satunya kemampuan berbahasa inggris, yang belum banyak dimiliki oleh para pengrajin batik Giriloyo.
Contohnya saja adalah Amiroh, yang mengaku kelabakan ketika ada tamu turis asing yang datang ingin membeli batik yang ia buat bersama anggota Paguyuban Pengrajin Batik Giriloyo.
"Tidak bisa bahasa inggris apalagi bahasa negara lain, jadi susah komunikasi kalau ada calon pembeli turis," kata Amiroh, Senin (2/10/2017).
Jika keadaan mendesak, Amiroh mengandalkan kalkulator atau secarik kertas sebagai alat peraga komunikasi.
Baca: Kebun Bunga Matahari Bantul, Membatik di Kain Sepanjang 300 Meter. Video Nomer 2 Paling Hits
Kalkulator, menjadi alat penunjuk angka ketika sedang terjadi tawar menawar harga.
Begitu pula kertas, yang dipakai untuk mempermudah menyampaikan jumlah batik yang diminta.
Selain itu, lemahnya sinyal seluler di Giriloyo juga jadi kendala.
Maklum, era digital sekarang ini menuntut para pengrajin mengandalkan media sosial dan aplikasi perpesanan untuk berkomunikasi dengan pembeli.
Aplikasi WhatsApp misalnya, jadi andalan saat berkirim foto motif batik.
Nur Ahmadi selaku Ketua II Paguyuban Batik Giriloyo mengamini jika kurangnya kemampuan pengrajin berbahasa asing dan lemahnya sinyal seluler menjadi kendala para pengrajin batik Giriloyo.
"Kalau sinyal, kita sudah pasang wifi yang tersebar di 12 kelompok anggota paguyuban," katanya.
Hanya saja untuk keahlian berbahasa asing ini Nur Ahmadi pesimis bisa dicari solusi instan.
Usia pengrajin yang rata-rata 30 tahun ke atas membuat mereka kesulitan belajar bahasa asing.
Untuk sementara, paguyuban biasanya mendatangkan orang yang memang bisa berbahasa asing jika dibutuhkan.
Dari rataan usia pengrajin batik yang sudah tidak muda lagi ini pula Nur Hidayat mencemaskan soal proses regenerasi pengrajin batik Giriloyo di masa yang akan datang.
Hal ini makin diperparah dengan tuntutan aktivitas pendidikan formal yang makin menyita waktu anak-anak.
Pernah beberapa waktu lalu Nur Hidayat coba mengumpulkan anak-anak Giriloyo belajar batik bersama.
Sayang, makin lama jumlahnya makin berkurang.
"Akhirnya banyak yang izin tidak ikut belajar membatik karena harus berkegiatan di sekolah seperti misalnya pramuka," katanya.
Dilematis, karena pendidikan formal juga menjadi kebutuhan anak-anak.
Di sisi lain, keahlian membatik masyarakat Giriloyo harus diturunkan ke anak cucu mereka.
Nur Hidayat pun pasrah sembari mengupayakan cara dan upaya lainnya agar batik tetap lestari di Giriloyo dan DIY. (TRIBUNJOGJA.COM)