Takluknya Kraton Yogya di Tangan Inggris
Mencekam ! Tiga Jam Penuh Darah Saat Takluknya Kraton Yogya di Tangan Inggris
Tragedi ini memuncaki konflik internal, trik intrik, persekongkolan sekaligus pengkhianatan di antara para bangsawan kerajaan.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sekitar 205 tahun lalu, peristiwa maha akbar berdarah-darah berlangsung di jantung Kasultanan Yogyakarta. Tragedi ini memuncaki konflik internal, trik intrik, persekongkolan sekaligus pengkhianatan di antara para bangsawan kerajaan.
Pasukan Gubernur Jenderal Inggris Sir Stamford Raffles yang dipimpin Kolonel RR Gillespie pada 20 Juni 1812 selama tiga jam penuh menggempur Keraton, meruntuhkan bentengnya, menaklukkan Sultan HB II, menjarah rayah harta karun seisi istana, termasuk keputren.
Akhir dari episode muram masa HB II ini adalah dinaiktahtakannya secara paksa sang Putra Mahkota menjadi Sultan HB III. Keberhasilan invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta inipun menandai kemerosotan kasultanan sejak didirikan Pangeran Mangkubumi pada 6 November 1755.
Setelah 57 tahun berdiri megah sebagai kerajaan baru yang kokoh dan tidak tertundukkan, Keraton Yogyakarta remuk. Sebagian besar penyebab karena maraknya intrik internal.
Ayah dan anak berebut tahta, yang secara maksimal ditunggangi para agresor dan kolonial. Perkubuan antarkeluarga kerajaan menambah pelik situasi.
Sesudah serbuan Inggris dan naiknya Sultan HB III menjadi titik awal pergolakan nan panjang, sangat berdarah, menguras emosi dan segala sumber daya di pihak Jawa maupun Belanda nantinya. HB III adalah ayah kandung Pangeran Diponegoro.
Baca: Aksi Jarah Rayah Kraton Yogya Akhiri Penyerbuan Brutal Pasukan Inggris

Tiga belas tahun berikutnya, pangeran yang saleh dan sederhana ini akan memimpin Perang Jawa, pertempuran dahsyat nan panjang yang tercatat dalam sejarah pendudukan Belanda. Nasionalisme Jawa berusaha menghadapi kolonialisme yang sangat kejam.
Detik-detik Serbuan Inggris ke Kraton Yogyakarta
Dr Peter Carey, peneliti asal Skotlandia yang tekun, dan mencurahkan setengah perjalanan hidupnya untuk memeriksa secara teliti sejarah Diponegoro, menceritakan cukup detail bagaimana jalannya invasi Inggris ke Keraton Yogyakarta yang dimulai 18 Juni 1812.

Serbuan tentu tidak berlangsung mendadak. Ada banyak peristiwa yang mendahului kejadian ini, baik perundingan-perundingan dengan pihak Inggris maupun lobi-lobi melibatkan para petinggi kerajaan.
Bahkan jauh sebelumnya, Sultan HB II membuat kesepakatan rahasia dengan Sunan Paku Buwono IV yang bertahta di Kasunanan Surakarta, terkait bagaimana mereka akan menghadapi kehadiran agresor asing (Inggris).
Inti kesepakatan itu, jika Inggris menyerang Kasultanan Yogyakarta, pasukan Kasunanan Surakarta akan membantu membokongnya dari belakang. Kelak, kesepakatan itu hanya jadi tulisan di atas kertas.
Ketika prajurit Gillespie mengobrak-abrik istana Sultan, pasukan Surakarta hanya berdiam diri, menonton dari jauh berharap akan ada keuntungan politik bagi mereka. Sultan HB II atau Sultan Sepuh dan pengikut setianya bertarung sendirian hingga akhirnya takluk dan dihinakan.
Pangeran Notokusumo yang terhitung adik Sultan Sepuh, semula dipercaya akan satu barisan. Jelang penyerbuan ia membelot ke pihak Inggris, memasuki benteng (Vrederburg) yang jadi basis pasukan penyerbu ketika itu.