Nenek 125 Tahun di Bantul Ini Hidup Seorang Diri, Andalkan Kepedulian Tetangga

Untungnya dibalik penderitaan Mbah Sendrong yang begitu peliknya, masih ada tetangga yang peduli akan kesehatan dan kebutuhan sehari-harinya.

Penulis: sis | Editor: oda
tribunjogja/hening wasisto
Mbah Sendrong yang genap berusia 125 tahun, saat ditemui Tribun Jogja di kediamannya, Salakan Rt 02 Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Sabtu (19/3/2017). 

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Di rumah berdinding bambu dan beralaskan tanah yang beralamat di desa Salakan, Rt 02 Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Setro Dimoyo atau yang akrab disapa Mbah Sendrong ini mesti hidup seorang diri.

Sabtu (18/3/2017), Tribun Jogja berkesempatan untuk berkunjung di kediaman Mbah Sendrong yang bisa dibilang jauh dari kata cukup.

Nampak beberapa kayu bakar dan daun kelapa kering tertumpuk di halaman rumahnya.

Memasuki bagian dalam pemandangan yang sungguh menyayat hati tergambar.

Pengap, dan gelap karena minimnya pecahayaan yang masuk ke dalam rumah, ditambah beberapa sarang laba-laba terbentuk di tiap sudut atap rumah.

Sehari-harinya nenek yang berusia 125 tahun itu menghabiskan sisa usianya dengan tiduran di tempat tidur bambu reyotnya.

Raga seolah tak mampu menahan beban tubuhnya untuk sekedar berjalan menikmati indahnya hidup. Ia pun hanya bisa ngesot untuk sekedar berjalan.

Sehari-harinya Mbah Sendrong, yang berusia 125 tahun, menghabiskan sisa usianya dengan tiduran di tempat tidur bambu reyotnya, di kediamannya, Salakan Rt 02 Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Sabtu (19/3/2017).
Sehari-harinya Mbah Sendrong, yang berusia 125 tahun, menghabiskan sisa usianya dengan tiduran di tempat tidur bambu reyotnya, di kediamannya, Salakan Rt 02 Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Sabtu (19/3/2017). (tribunjogja/hening wasisto)

Saat diajak bicara pun, Mbah Sendrong masih bisa merespon, namun hanya jawaban singkat yang ia keluarkan dari mulutnya.

Ironisnya, di sisa usianya ini, Mbah Sendrong mesti hidup seorang diri. Suami tiada, anak pun tak punya seakan semakin menambah derita hidupnya.

Untungnya dibalik penderitaan Mbah Sendrong yang begitu peliknya, masih ada tetangga yang peduli akan kesehatan dan kebutuhan sehari-harinya.

Dia adalah Linggaryati, wanita berusia lima puluh enam tahun ini yang sehari-harinya mencukupi kebutuhan hidup Mbah Sendrong.

"Semenjak kepergian suaminya, hidup simbah jauh dari kata cukup. Rasa lapar dan dahaga selalu ia rasa. Duit tak ada, terus mau makan dengan apa?," ucap Linggar.

Melihat kondisi Mbah Sendrong yang sedemikian pilunya, Linggar pun tak kuasa untuk membiarkan Mbah Sendrong terus bergelut dalam penderitaan.

Setiap harinya, Linggar dan kedua putranya merawat dan mencukupi kebutuhan sehari-hari Mbah Sendrong.

"Dulu di tahun 2013 simbah masih bisa jalan, namun semakin hari kondisi tubuhnya semakin menurun, dan beberapa hari ini agak drop. Tiap pagi saya belikan bubur yang panas dan banyak kuah, lauk karena simbah seneng banget sama makanan yang berkuah dan panas, siang hari saya kasih nasi dan lauk pauk yang berkuah juga, dan teh panas, lalu malam harinya saya sediakan ketela rebus karena simbah seneng banget," urai Linggar.

Tak hanya kebutuhan sehari-hari saja yang Linggar dan keluarganya berikan, dalam hal kebersihan pun tak luput dari perhatian Linggar.

"Dua hari sekali saya mandikan, kadang cuma saya cuci mukanya, kadang ada beberapa tetangga juga yang membantu meringankan beban saya ada yang nyapu dalam rumah dan halaman rumah simbah," imbuhnya.

Linggaryati (paling kiri), wanita yang sehari-harinya mencukupi kebutuhan hidup Mbah Sendrong (berbaring di tempat tidur bambu).
Linggaryati (paling kiri), wanita yang sehari-harinya mencukupi kebutuhan hidup Mbah Sendrong (berbaring di tempat tidur bambu). (tribunjogja/hening wasisto)

Diakuinya, untuk merawat mbah Sendrong memang diperlukan kesabaran ekstra mengingat usianya yang sudah sangat tua.

Meskipun tak ada hubungan keluarga antara dirinya dan Mbah Sendrong, namun dengan senang hati dan iklhas Linggar merawat Mbah Sendrong layaknya keluarganya sendiri.

"Dia itu suka rewel kalau lagi laper. Mamakne Eko Mamakne Eko, duwe sega ora? Kowe ora ngliwet pa? aku ngelih je ( Ibunya Eko, Ibunya Eko, kamu apa nggak punya nasi? Kamu nggak nanak nasi? Saya lapar)," ucap Linggar menirukan ucapan Mbah Sendrong.

Namun dibalik rewelnya Mbah Sendrong, dari penuturan Linggar, beliau juga senang bercanda dan curcol.

"Dia itu seneng banget mas curhat pas jaman mudanya dulu. Dulu dia itu adalah tukang pijat panggilan, dan pernah mengalami masa kejayaan. Pernah dipanggil Sri Sultan juga. Kalo cerita soal itu simbah pasti antusias banget, tapi kalau cerita soal kekecewaannya akan masa lalunya yang tidak diberi momongan yang kadang membuat saya terharu," ungkapnya.

Baca: Ingat Nenek Berusia 125 Tahun yang Hidup Sebatang Kara di Bantul? Begini Kabar Terkininya

Sempat Ingin Bakar Kaki

Dari penuturan Linggar, Mbah Sendrong sempat merasakan frustasi akan bengkak yang terjadi di kakinya.

"Dulu sempat mau membakar kakinya sendiri di tungku, mas," jelas Linggar.

Hal itu dikarenakan, lanjutnya, simbah frustasi dengan kondisi kakinya yang tidak mengalami kesembuhan, simbah pun berinisiatif untuk membakar kakinya.

Untungnya Linggar waktu itu langsung menarik simbah yang kedapatan tengah memasukkan kakinya ke dalam tungku pembakaran.

"Dia kan bisanya cuma ngesot, waktu itu pas saya kesini tiba-tiba dia udah masukin kakinya ke tungku. Nah, saya waktu itu teriak-teriak sembari mendorong dia sekuat tenaga saya agar menjauhi tungku, alhamdulillah berhasil. Saya kemudian marah-marahi dia," terang Linggar.

"Setelah itu kaki simbah saya minyaki, ya akhirnya sembuh juga bengkaknya," ucap Linggar lega.

Setelah kejadian itu, Mbah Sendrong menurut Linggar jadi lebih nurut dengan apa yang diucapkannya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved