Inspiratif, Karya Batik Alam dari Pria Asal Tembi Ini Sukses Tembus Pasar Eropa dan Amerika
Karyanya pun diminati oleh orang asing dari penjuru Eropa, Amerika, Asia dan Australia.
Penulis: Agung Ismiyanto | Editor: Muhammad Fatoni
Tatang yang memiliki dua putera ini menggunakan beberapa macam bahan dari alam seperti, daun indigo untuk membuat corak warna biru tua, kayu nangka dipergunakan untuk warna kuning dan emas, kulit kayu mahoni untuk warga merah agak kecoklatan, dan kulit buah Jelawe untuk jamu warna kuning tua atau kecoklatan.
Perjalanan menggunakan pewarna alam ini pun diawalinya pada tahun 2010 awal. Kala itu, Tatang yang sempat bergelut di Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) selama hampir delapan tahun memilih untuk resign dari tempatnya berkarya. Kecintaan pada pelestarian lingkungan pun akhirnya ditularkan oleh mantan Deputi Direktur Walhi DIY dan Divisi Manajemen Bencana ini melalui karya batiknya.
“Saya resign karena sudah jenuh dan punya anak. Meskipun sebelumnya saya juga sudah pernah menjalani kursus film dan kebencanaan di Belanda,” ulasnya.
Tawaran untuk bekerja di lembaga swadaya masyarakat internasional pun berdatangan. Namun, akhirnya dia memilih rehat dari dunia itu dan akhirnya menggeluti batik dan belajar untuk mandiri, meski tidak meninggalkan sifat kritisnya dalam melawan eksploitasi alam.
Karya pertama darinya adalah sebuah scarf atau selendang kecil yang dibeli oleh orang Amerika di awal-awal dirinya membatik. Scarf itu berbahan pewarna alam dan menarik hati orang Amerika yang menebusnya dengan uang Rp 200 ribu saat itu.
Dari perjuangan itu, akhirnya dia bisa membesarkan usahanya hingga memiliki sembilan orang pembatik tulis. Sementara untuk desain, Tatang tetap mendesain sendiri karya batiknya yang tembus pasar luar negeri seperti Eropa, Amerika, Australia, hingga Singapura.
“Untuk pasaran lokal paling banyak diambil Jakarta dan Bali. Namun, luar negeri yang rutin adalah Singapura. Saya juga kerap pameran di luar negeri. Mereka akhirnya juga semakin melarisi batik warna alam,” katanya.
Usaha untuk membuat batik dengan warna alam ini juga diyakininya sebagai bentuk kampanye agar tidak merusak lingkungan dengan pewarna sintetis. Meskipun, dia tetap memenuhi permintaan pasar dengan membuat warna sintetis. Untuk pembuangan limbahnya, Tatang juga membuat Instalasi Pembuangan Air Limbah (IPAL) sendiri di depan galerinya.
Hingga kini, usahanya ini terus berkembang dan omzetnya mencapai kisaran Rp 40 hingga 50 juta. Dia pun mulai perlahan mengajak pembatik lokal untuk menggunakan warna alam yang ramah lingkungan.
“Warna alam memang lebih kusam dan klasik, namun justru lebih alami dan ramah lingkungan. Beberapa warga yang batik dengan warna alam pun saat ini sudah menyetorkan karyanya untuk dijual ke saya,” ulasnya.
Adapun untuk harga batik warna alam itu berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 7,5 juta tergantung dari segi kerumitan dan pewarnaannya. Lebih dari sekedar uang, Tatang tetap ingin mendidik pembelinya agar tetap mencintai lingkungan sekitar dengan karyanya. (Agung Ismiyanto)