Tribun Corner

Bahaya Terpendam Bom di Samarinda

Aksi-aksi petualangan seperti yang dilakukan Juhanda ini tidak mendapat tempat, dan harus jadi musuh semua elemen

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Muhammad Fatoni
tribunkaltim.co/anjas pratama
Sepeda motor yang terparkir di depan Gereja Oikumene, Kelurahan Sengkotek, Loa Janan, Samarinda, Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur, Minggu (13/11/2016) terbakar akibat ledakan bom 

BOM meledak di depan Gereja Oikumene di Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu (13/11). Bom berdaya ledak rendah itu menggelegar saat jemaat gereja sedang beribadah. Empat korban jatuh, semuanya anak-anak balita yang sedang bermain.

Pelakunya diduga kuat Juhanda alias Ju bin Mohammad Aceng Kurnia. Jati diri pria ini didapatkan dari KTP pria ini yang beralamat di Aceh Besar. Sesuai data diri, Juhanda ini kelahiran Bogor, dan pernah mendekam di penjara terkait kasus terorisme.

Juhanda berkomplot dengan Pepi Fernando, tokoh di balik bom buku yang dikirim ke empat alamat, tiga di antaranya dikirim ke Kepala BNN Komjen Pol Gories Mere, Ketua Umum Pemuda Pancasila Yapto Suryosumarno, dan musisi Ahmad Dhani.

Satu bom buku dikirim ke pengurus Yayasan Salihara di Utan Kayu. Bom di Utan Kayu ini meledak saat dibuka Kasatreskrim Polrestro Jaktim. Seusai menyulut dan melempar bom bakar di Gereja Oikumene, Juhanda diringkus warga di tengah Sungai Mahakam.

Juhanda hendak kabur dengan menceburkan diri ke sungai besar itu. Ketika didaratkan, massa yang kesal membogem laki-laki pengangguran yang pernah membuat keributan di rumah istrinya di Pare-pare selepas dari penjara.

Ada setidaknya tiga hal penting yang patut digarisbawahi di kasus ini.

Pertama, pengeboman ini tentu memiliki motif memecahbelah kerukunan dan persatuan bangsa.

Kedua, pelakunya seorang residivis kasus terorisme, yang tentu mengingatkan tujuan penalisasi dan deradikalisasi.

Ketiga, warga sekitar yang umumnya non Muslim, turut berjibaku meringkus pelaku pengeboman hingga memburunya ke tengah Sungai Mahakam. Hal terakhir ini mengindikasikan sesungguhnya aksi terorisme seperti ini musuh mayoritas rakyat negeri ini.

Aksi-aksi petualangan seperti yang dilakukan Juhanda ini tidak mendapat tempat, dan harus jadi musuh semua elemen yang mencintai kebangsaan dan negara ini. Propaganda kekerasan dan terorisme ideologis di media sosial akhir-akhir ini sangat terasa kuat.

Banyak yang terpancing, ikut terprovokasi, dan akhirnya larut arus menyebarkan gagasan-gagasan intoleransi dan bernuansa kekerasan. Tanpa mengecilkan efek ledakan dan kekuatan bomnya, kasus di Samarinda ini benar-benar harus diwaspadai.

Selama ini Kaltim terhitung kondusif. Meski demikian tidak steril dari eksisnya kelompok-kelompok pro kekerasan ideologis. Di wilayah ini sejak lama jadi perlintasan favorit sel-sel kelompok teroris di Indonesia dari Sulawesi ke Jawa.

Lebih jauh lagi, kasus peledakan bom di Samarinda ini menyalakan lampu kuning bagi Indonesia. Safari Presiden Joko Widodo ke satuan-satuan khusus Polri dan TNI bisa diletakkan dalam konteks ini.

Persatuan dan kesatuan nasional, Pancasila, dan UUD 45 sebagai perekat dan pemersatu keberagaman kita, sedang mendapat ujian maha berat. Terasa benar ada pihak-pihak yang ingin mewujudkan mimpi-mimpi ideologis mereka guna menggantikan pilar kebangsaan kita.

Semoga, kejadian di Samarinda ini tidak tereskalasi luas. Kita pasrahkan sepenuhnya penanganan masalah ini ke aparat negara dan penegak hukum. Beri kepercayaan kepada mereka, tanpa perlu dipaksa-paksa.(***)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved