Kemacetan di Yogya
Pengamat Sosial Perkotaan : Angkutan Umum Buruk dan Tren Gaya Hidup Jadi Akar Masalah Kemacetan
Menurut Pengamat Sosial Perkotaan, Hastangka, salah satu akar masalahnya adalah buruknya transportasi publik di DIY.
Penulis: dnh | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Dwi Nourma Handito
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Masalah tumbuh pesatnya jumlah kendaraan di DIY yang berkorelasi dengan padatnya bahkan macetnya jalan harus diurai akar masalahnya.
Menurut Pengamat Sosial Perkotaan, Hastangka, salah satu akar masalahnya adalah buruknya transportasi publik di DIY.
"Saya juga sudah bertanya dengan pengguna kendaraan, terutama motor dan mobil, salah satu kesaksian dan pernyataan pengguna kendaraan itu mengeluhkan bahwa transportasi publik itu belum dirasa terintegrasi," ujarnya belum lama ini.
Menurutnya kualitas pelayanan transportasi publik di Yogyakarta juga masih sangat buruk dan tidak sesuai dengan harapan. Hal itu yang dikeluhkan oleh para pengguna transportasi, utamanya menurut Hastangka mereka adalah pelajar dan mahasiswa.
"Ketika transportasi publik itu buruk dan kualitas pelayanan tidak baik, apa yang mereka lakukan? mereka mencari alternatif transportasi yang murah, cepat dan mudah yaitu ya kendaraan bermotor. Artinya apa, seperti masyarakat, mahasiswa dari luar mereka lebih memilih membawa kendaraan bermotor," ujarnya.
Selain itu menurut Hastangka saat ini ada persoalan dalam gaya hidup, di mana gaya hidup menjadi tren masyarakat sekarang.
"Kenapa? orang kalau tidak punya kendaraan mungkin dianggap imagenya mungkin menjadi kalangan kelas bawah. Orang tidak punya mobil, mungkin kalau jalan-jalan mereka merasa minder," ujarnya.
"Ini menjadi tren orang masa kini, masyarakat perkotaan atau masyarakat transisi menuju masyarakat global. Bahwa kebutuhan akan kendaraan sudah menjadi kebutuhan pokok, akhirnya mereka yang tidak punya garasi ya mereka paksa di depan jalan atau pinggir jalan, atau di samping rumah tetangga," ujarnya.
Hal tersebut diatas, menurut Hastangka menjadi masalah lain, masalah sosial yang muncul di perkotaan. Menurutnya lifestyle atau gaya hidup muncul karena sebuah tren image hiper realita, realita masyarakat yang ingin menjadi masyarakat kelas satu high class.
"Mereka tidak menilai mereka butuh atau tidak, tetapi ini persoalan bagaimana kepentingan hasrat untuk menjadi to be the have people atau menjadi orang punya dalam tanda kutip orang kaya," kata pria yang juga menjadi peneliti di Pusat Studi Pancasila UGM ini.
Sementara hal lain dan menurutnya juga menjadi sangat fundamental dan mendasar, adalah kesan tidak serius dari pemerintah dalam menangani hal tersebut. Yakni mengantisipasi volume kendaraan dan dampak kemacetan yang ditimbulkan.
"Kemacetan tidak dapat diurai dengan pelebaran jalan, karena jelas di Yogyakarta itu tidak mungkin. Harus ada komitmen, ada political will pemerintah daerah untuk berani membuat kebijakan yaitu membangun transportasi publik yang modern efektif dan terintegrasi, itu pentin, mumpung belum kejadian seperti Jakarta," ujarnya.
Jika Yogyakarta menjadi kota macet maka menurut Hastangka bisa jadi status kota pelajar dan kota pendidikan bisa jadi tercabut.(*)