Tribun Corner
Menguak Curahan Hati Freddy Budiman
Inti ceritanya adalah, Freddy membeber perkongsian bisnisnya dengan oknum-oknum penegak hukum.
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM - Catatan yang disusun Koordinator KontraS, Haris Azhar, meemunculkan kegaduhan. Isinya, rekonstruksi pengakuan Freddy Budiman, terpidana mata yang sudah dieksekusi Jumat (29/7/2016) dini hari. Jenazah Freddy kemarin sudah dimakamkan di tanah kelahirannya, Surabaya.
Meski catatan itu takkan mengubah kembali takdir Freddy, pengimpor jutaan pil ekstasi dari China, tapi menyimak isinya sungguh menarik. Dengan catatan, jika kesaksian itu betul-betul fakta yang memiliki basis dukungan argumentasi yang kuat.
Syukur-syukur ada bukti material yang mampu menjelaskan lebih sahih terkait kesaksian Freddy itu. Inti ceritanya adalah, Freddy membeber perkongsian bisnisnya dengan oknum-oknum penegak hukum.
Bisnis haramnya bisa berjalan lancar selama bertahun-tahun, karena memang diberi jalan oleh oknum-oknum pejabat penting di masing-masing lembaga yang berkaitan lalulintas barang ilegal. Freddy sendiri menyebut dirinya hanya operator mafia narkoba dari China dan Korea.
Bosnya tinggal di China, sedangkan investornya orang Korea. Freddy menyebut dirinya siap menerima hukuman mati, namun ia mempersoalkan perilaku jahat oknum-oknum penegak hukum dan pemerinta yang dianggap menutup mata.
Freddy mengaku jika dikumulasi, setorannya dari hasil bisnis narkoba ke sejumlah pihak bisa mencapai setengah triliun rupiah. Ia menyebut Rp 450 miliar mengalir ke oknum-oknum di BNN, Rp 90 miliar ke oknum pejabat di Polri. Sisanya ada yang ke oknum Bea Cukai.
Cerita ini masih sepihak, dan disampaikan oleh orang lain, bukan Freddy langsung. Namun Thomas Sitinjak, mantan Kepala LP Batu, tempat Freddy dipenjara, mengamini, Freddy pernah curhat ke mana-mana soal ini.
Testimoni ini menjadi menarik, karena di menit-menit terakhir, jaksa eksekutor menunda eksekusi mati untuk 10 terpidana. Pembatalan ini tentu datang dari perintah eksekutif tertinggi untuk sejumlah alasan.
Paling pokok tentunya ada waktu untuk mengkaji dan menelaah ulang vonis mati untuk ke-10 terpidana berdasar fakta-fakta. Ini sangat penting guna menghindari ketidaktepatan sanksi hukum kepada seseorang.
Juga menghindari kesalahan penghukuman. Ada adagium hukum yang mengatakan, "lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang tak bersalah". Prinsip penghakiman ini tentu masih relevan.
Bukan soal pro atau kontra hukuman mati, tetapi ini untuk menghindarkan kesalahan penerapan hukum kepada seseorang.
Testimoni Freddy soal kebusukan di balik bisnis narkoba, semestinya jadi momentum perubahan secara sungguh-sungguh mental aparat penegak hukum.
Sebab, sudah jadi rahasia umum kasus-kasus narkoba skala ikan cethol hingga kelas paus, yang begitu mudahnya jadi alat permainan dan pemerasan. Banyak fakta tentang itu, namun masyarakat yang mengalaminya memilih diam ketimbang perkaranya berkepanjangan.
Presiden Joko Widodo harus memimpin langsung revolusi mental para penegak hukum dalam upa perang melawan narkoba. Jika tidak, maka modus-modus pemerasan dan permainan tetap tumbuh subur, dan mata rantai narkoba menjadi kian sulit dipotong.(*)
