Sultan Ground Akan Ditertibkan, Masyarakat Pesisir di Gunungkidul Menolak Digusur
Mou ini hanya sarana dari Keraton untuk menggusur masyarakat pesisir.
Penulis: Rendika Ferri K | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Rendika Ferri K
TRIBUNJOGJA.COM, GUNUNGKIDUL - Penandatanganan nota kesepahaman ataupun surat perjanjian antara Pemkab Gunungkidul dan Keraton Yogyakarta Hadiningrat terkait penertiban dan penataan tanah SG membuahkan reaksi penolakan warga masyarakat pesisir selatan.
"Masyarakat pesisir was-was lahan SG yang ditempatinya puluhan tahun bakal segera digusur dan ditertibkan setelah adanya nota perjanjian antara Keraton Yogyakarta dengan Pemkab Gunungkidul," ujar Ketua Aliansi Keutuhan Republik Indonesia (AKRI) sekaligus Perwakilan Warga Pantai Watu Kodok, Kawit, Selasa (21/6/2016).
Lanjut Kawit, pihaknya bersama-sama masyarakat Pantai Watu Kodok, Parangkusumo, Parangtritis, menegaskan sikap penolakannya atas upaya penertiban dan penataan tanah SG di kawasan pesisir selatan tersebut.
Pihaknya bahkan tidak mengakui adanya SG di Gunungkidul bahkan seluruh DIY. Menurutnya, Mou ini hanya sarana dari Keraton untuk menggusur masyarakat pesisir.
"Istilah SG atau tanah SG itu sudah dihapus tahun 1984 lalu, maka dari itu kata SG sebenernya sudah tidak ada,jangan terus main gusur," ujar Kawit.
Rencana penataan dan penertiban tanah SG ini santer terdengar, terutama masyarakat yang tinggal kawasan pesisir Gunungkidul, baik warga Watu Kodok, Parangkusumo, dan Parangtritis.
Kawit pun mengatakan, sebanyak 57 warga Watu Kodok dari 100 lebih warga pun telah didatam. Menurut informasi, ia mengatakan penertiban rencananya akan dilaksanakan Oktober mendatang.
"Di sini itu tanah negara, tanah rakyat, bukan tanah sultan ground," ujar Kawit.
Kawit mengatakan, pihaknya tetap akan melawan upaya penggusuran tersebut bagaiamanapun caranya. Kini warga masyarakat tengah berembuh untuk menyatakan sikap penolakannya, bahkan pihaknya berencana bertolak ke Jakarta untuk mengadu kepada presiden.
"Upayanya baru dirembug dari warga, bagaimanapun caranya. Kami bahkan mau mengadu ke Jakarta. Kalau engga ke presiden, mau lapor kemana kemana, sultannya juga gubernurnya," ujar Kawit. (*)
