Bidai Portabel Praktis Karya Mahasiswa UGM untuk Korban Patah Tulang
Bersama-sama, mereka menciptakan sebuah alat bidai untuk korban patah tulang yang praktis di bawa ke manapun.
Penulis: Rendika Ferri K | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Bidai merupakan salah satu alat pertolongan pertama pada kecelakaan untuk korban patah tulang, yang berfungsi menjaga bagian tubuh agar tidak berubah posisi.
Namun permasalahan saat ini, adalah ketersediaannya yang minim, dan ukuran alat yang tak praktis dibawa.
Berbekal keprihatinan tersebut, tiga mahasiswa UGM yaitu Dionita Rani dari Fakultas Kedokteran, Sheptian dari Fakultas Pertanian, dan Fuad dari Fakultas Kehutanan, bersama-sama menciptakan sebuah alat bidai untuk korban patah tulang yang praktis di bawa ke manapun.
Sheptian, mahasiswa Fakultas Pertanian UGM, salah satu pengembang Bidai Portabel, menuturkan, ide awal pembuatan bidai dari celetuk salah satu staf pengajar PSIK UGM, Eri Yanuar, staf UGM RSUP Dr. Sardjito yang meminta dibuatkan bidai yang dapat dimasukkan ke dalam tas.
"Beberapa kali Eri menangani kecelakaan dengan korban patah tulang namun merasa kesulitan karena tak ada bidai yang tersedia dan siap digunakan. Oleh, karena itu kami mencoba merancang, dan berhasil membuat alat bidai portabel," ujar Sheptian, Minggu (27/09/2015).
Melalui Program Kreativitas Mahasiswa, dan dengan bimbingan dari dr Rustamaji M Kes, Sheptian dan rekan-rekannya dapat membuat desain bidai yang sederhana, sehingga dapat dimasukkan ke dalam tas day bag.
Bidai yang mereka ciptakan terbuat dari bahan kayu waru dengan lebar 5 cm dan tebal 1 cm dengan variasi panjang hingga 9 buah sesuai kebutuhan.
Bidai dapat menahan beban seberat 125 kilogram, selain itu juga ditambahkan tali perekat dan tas waterproof agar bidai dapat digunakan di segala cuaca.
Biaya pembuatan alat ini cukup murah, hanya dengan Rp 100.000 sampai Rp 150.000 bidai portabel sudah dapat dibuat. Alatnya pun mudah ditemukan, dan bahan-bahannya berasal dari material lokal.
"Biaya pembuatan sekitar Rp100 ibu - Rp 150 ribu saja, cukup murah. Alatnya praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana," ujarnya.
Dalam proses pembuatan, tim sempat terkendala ukuran bidai yang cocok, dikarenakan ukuran tubuh dari masing-masing orang yang berbeda.
Namun timnya tak habis akal, mereka kemudian melakukan pengukuran tubuh, panjang tangan, kaki, pada sejumlah orang, sampai akhirnya mereka menemukan ukuran yang sesuai untuk semua.
"Sempat terkendala ukuran yang cocok, karena masing-masing orang kan berbeda. Tetapi kami langsung mengukur ukuran tubuh masing-masing orang, lalu kami rata-rata, dan dapat ukuran yang sesuai untuk sebagian besar orang," ujar Sheptian.
Sheptian bersama rekan-rekannya, berharap alat bidai portabel ini dapat berguna untuk penanganan korban kecelakaan terutama yang mengalami fraktura dan dislokasi pada tulang.
Timnya pun berencana akan terus mengembangkan alat bidai ini. Ia juga berharap Bidai Portabel dapat ditempatkan di klinik maupun rumah sakit yang membutuhkan.
"Semoga alat ini bisa mengurangi angka cacat permanen yang diakibatkan oleh kesalahan penanganan pada korban fraktur pada kecelakaan, dan juga semoga bisa diproduksi massal dan disediakan di klinik-klinik dan rumah sakit sehingga dapat berguna untuk tenaga medis," pungkasnya. (*)