Gudeg Yogyakarta Jadi Warisan Nasional
Antara lain Joglo asli Yogyakarta, makanan tradisional Gudeg, tradisi Mubeng Benteng, dan tradisi Saparan Bekakak
Penulis: had | Editor: Ikrob Didik Irawan
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Empat warisan budaya asli Yogyakarta telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Nasional berupa budaya benda (tangible) dan budaya tak benda (intangible), dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia.
Antara lain Joglo asli Yogyakarta, makanan tradisional Gudeg, tradisi Mubeng Benteng, dan tradisi Saparan Bekakak.
“Penyerahan sertifikat Warisan Budaya Nasional dari pemerintah pusat itu akan diserahkan pada 20 Oktober mendatang di Jakarta. Kami berharap Pak Gubernur berkenan menerima langsung penghargaan ini,” kata Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Umar Priyono, Kamis (24/9/2015).
Ia menjelaskan, sebelumnya sudah dilakukan sidang pada Minggu (20/9/2015) hingga Senin (21/9/29015) oleh para pakar di Kemendikbud atas usulan dari masing-masing daerah termasuk dari DIY.
Sebab sebelumnya, DIY memang mengajukan empat jenis warisan budaya ini ke pemerintah pusat.
“Alhamdulillah keempatnya berhasil ditetapkan sebagai Warisan Budaya Nasional semua. Padahal daerah lain rata-rata hanya satu yang ditetapkan dan malah banyak yang gagal,” katanya.
Umar mengutarakan, di Jawa banyak jenis Joglo dan masing-masing daerah memiliki karakter berbeda. Misalnya terdapat Joglo dari Pesisiran, Jawa Timur, Bali, Jompongan, dan lain-lain.
Sementara ciri khas Joglo Yogyakarta adalah memiliki konstruksi lambang gantung serta gandok kiwo dan tengen.
“Saat di Yogyakarta joglo dengan konstruksi lambang gantung yang masih asli sejak zaman dahulu hanya ada di Masjid Kotagede, nDalem Yudonegaran. Dan ini ada juga di halaman kantor Dinas Kebudayaan,” katanya.
Keunikan
Adapun penilaian yang dilakukan menurutnya didasarkan atas keunikan dan kegunaannya hingga saat ini, serta menjadi ciri khas daerah tertentu.
Kemudian dari aspek kepentingan, kesejarahan, manfaat bagi nilai pendidikan maupun kesenian dan lain-lain.
Selain Joglo, juga terdapat Gudeg. Menurut Umar, makanan ini adalah warisan budaya dan hingga kini mudah ditemukan di berbagai tempat.
Bahkan Gudeg sudah menjadi makanan ciri khas Yogyakarta.
Kemudian, tradisi Saparan Bekakak dan tradisi Mubeng Benteng Keraton Yogyakarta. Pihaknya sengaja mengajukan tradisi ini karena memiliki citra kerakyatan dan kebersamaan menjaga nilai budaya.
Diakui memang di Keraton Solo juga terdapat tradisi Mubeng Benteng, namun oleh Kemendikbud tidak ditetapkan sebagai Warisan Budaya Nasional.
Menurut Umar, lolos dan tidaknya tergantung argumentasi dan bukti yang dipaparkan oleh tim dari daerah masing-masing.
“Di Solo juga ada mubeng benteng, tapi kita (dari Yogya) yang ditetapkan. Itu tergantung cara kita berargumentasi, selain itu juga itu (tradisi) masih dimanfaatkan masyarakat sampai sekarang,” jelasnya.
Umar mengatakan, terdapat banyak keuntungan atas ditetapkannya sebagai Warisan Budaya Nasional.
Antaralain menjadi rujukan kajian pendidikan, perhatian pemerintah melalui pendanaan, dan yang terpenting adalah menjadi identitas.
Sebelumnya, lanjutnya, di DIY juga terdapat beberapa jenis yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Nasional, misalnya Keraton Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Puro Pakualaman, tari pusaka Bedoyo semang Keraton, Candi Prambanan, dan lainnya.
Panggung Krapyak
Ke depan, pihaknya akan mengajukan sumbu filosofis yakni antara Panggung Krapyak sampai Tugu untuk dijadikan Warisan Budaya Nasional.
Sebab keberadaannya adalah warisan budaya Yogyakarta. Namun hal ini membutuhkan persiapan yang matang.
Maka, imbuh Umar, banyaknya Warisan Budaya Nasional di DIY membuat Yogyakarta layak disebut pusat pelestarian budaya.
Namun pihaknya meminta pada semua masyarakat untuk bersama menjaga warisan budaya ini, agar jangan sampai punah.
"Jadi kalau warisan budaya nasional ini tidak dirawat ya bisa dicabut," ungkapnya.
Ketua Dewan Kebudayaan DIY, Djoko Dwiyanto mengatakan, penetapan sebagai Warisan Budaya Nasional ini adalah menjadi tanggungjawab bersama semua pihak.
Terutama masyarakat di DIY untuk saling menjaga agar tetap lestari sepanjang masa.
“Ini momentumnya juga tepat, dimana banyak yang mempertanyakan keistimewaan DIY itu di mana? Nah, setelah adanya pengakuan dari pemerintah ini maka bisa dijadikan salah satu tolak ukurnya,” katanya. (tribunjogja.com)
