Polemik Sabdaraja
Para Rayi Dalem Berikan Tiga Pilihan ke Sultan
Para rayi dalem (adik Sultan Hamengku Buwono X) telah menentukan sikap terhadap polemik Sabdaraja
Penulis: had | Editor: Ikrob Didik Irawan
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Para rayi dalem (adik Sultan Hamengku Buwono X) telah menentukan sikap terhadap polemik Sabdaraja. Sikap tersebut memuat tiga hal yang merupakan pilihan yang harus diambil Sultan.
Rencananya sikap tersebut akan diserahkan ke Sultan.
“Pertama, Ngarso Dalem diminta kembali ke Paugeran. Kemudian kita selesaikan konflik ini dengan saling memaafkan seolah tidak ada permasalahan demi masa depan keraton,” kata Adik Sultan HB X, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudaningrat, Senin (15/6).
Ia menjelaskan, Sultan tidak perlu menarik Sabdaraja maupun dawuh raja, melainkan hanya membatalkannya dan kembali ke paugeran dengan gelar sebelumnya.
“Kedua, diminta untuk menjadi Kyai Ageng, atau meninggalkan keduniaan dan hanya mengabdi pada Tuhan,” sambungnya.
Ketiga, lanjut Gusti Yudo, jika masih belum kembali pada paugeran. Maka diminta untuk mendirikan keraton sendiri. Karena Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan warisan leluhur dari trah Hamengku Buwono.
Rayi dalem meminta agar Sultan membatalkan Sabdaraja yang dikeluarkan pada 30 April dan 5 Mei 2015 lalu. Yakni berisi perubahan gelar Sultan dan pengangkatan GKR Pembayun dengan gelar baru GKR Mangkubumi.
Gusti Yudo mengatakan, saat ini sikap para rayi dalem tersebut masih dilakukan kajian pada para pakar hukum. Baik hukum positif tata negara maupun hukum adat.
Setelah kajian tersebut selesai, maka hasilnya akan diserahkan secara resmi ke Sultan.
"Kita tidak mempermaslahakan masalah suksesi. Tapi trah Hamengku Buwono meminta Sultan kembali ke khitahnya," katanya.
Penghageng Keraton Yogyakarta ini mengungkapkan, trah Hamengku Buwono dan adik-adik Sultan HB X ingin menyelamatkan Keraton Yogyakarta yang sudah eksis selama ratusan tahun.
Sabdaraja dan Dawuhraja membuat Keraton Yogyakarta menjadi sangat miskin.
"Kita kemalingan apa-apa. Tanah, aset Keraton, bangunan, yang terakhir adalah kehilangan nasab (garis keturunan)," jelasnya.
Menurutnya, Keraton Yogyakarta memiliki pengalaman seputar suksesi salah satunya pada masa Sultan HB VII. Saat itu, HB VII mewariskan tahta ke puteranya yang pertama, namun ternyata putera keempat yang baru berhasil menjadi Sultan.
“Tiga putranya tidak berhasil (menjadi Sultan) walaupun ketiganya adalah laki-laki semua. Laki-laki saja tidak berhasil, apalagi perempuan yang tidak ada dalil di Keraton yogyakarta," tegasnya.