Polemik Sabdaraja
Sabdaraja Sultan HB X Juga Berpengaruh Pada Kalangan Abdi Dalem Keraton
Abdi dalem yang diketahui memiliki kesetiaan terhadap Keraton dan Raja, juga terpengaruh terhadap polemik ini.
Penulis: had | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, M Nur Huda
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sabdaraja dan Dawuh Raja yang dikeluarkan Sri Sultan Hamengku Buwono X, bukan hanya menimbulkan pro dan kontra di kalangan internal keluarga Keraton Kasultanan Yogyakarta, namun juga masyarakat.
Bahkan, abdi dalem yang diketahui memiliki kesetiaan terhadap Keraton dan Raja, juga terpengaruh terhadap polemik ini. Abdi dalem tersebut memilih tidak menaati Sabdaraja dan mengembalikan kekancingan.
Pada Kamis (7/5/2015) lalu, seorang abdi dalem mengembalikan kekancingan atau surat keputusan pengukuhan sebagai abdi dalem, pada Penghageng Tepas Danartopura Keraton Yogyakarta, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Cakraningrat, di nDalem Yudanegaran.
Menurut abdi dalem bernama asli Kardi, alasan pengunduran dirinya tersebut karena Sultan HB X mengubah gelar melalui Sabdaraja.
“Karena Ngarso Dalem sudah mengubah gelar dan namanya. Saya hanya orang kecil," katanya.
Saat ia diangkat sebagai abdi dalem Keprajan, Kardi memeroleh gelar Mas Wedana Nitikartya, sejak dirinya menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Yogyakarta, pada 31 Agustus 2011.
Melihat peristiwa itu, Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Humas Keraton Kasultanan Ngayogyakarta), KRT H Jatiningrat SH atau Romo Tirun saat ditemui di ruang kerjanya, akhir pekan ini, mengaku prihatin.
Namun ia memastikan, situasi ini tidak memengaruhi abdi dalem lainnya. Karena abdi dalem memiliki tekad untuk mengabdi pada budaya, seorang abdi dalem adalah penjaga budaya yang pempertahankan institusi Keraton.
Sehingga siapapun Raja yang menduduki tahta, manurut laki-laki berusia 71 tahun ini, tidak berpengaruh.
“Kita yang penting lembaganya, sebab ini adalah tinggalan leluhur. Soal ada perbedaan, silakan saja, risikonya ditanggung sendiri-sendiri. Abdi dalem tidak terpengaruh,” kata cucu HB VIII ini dan diamini para abdi dalem lainnya.
Namun demikian, jika nantinya ternyata adanya polemik ini memengaruhi kesetiaan abdi dalem, baik yang setiap hari berdinas di Keraton maupun di luar, ia menyarankan sebaiknya menengok kembali pada institusi Keraton.
“Jangan sampai ketenangan abdi dalem terganggu, sebab abdi dalem pengabdiannya ke Keraton. Makanya supaya tidak bingung, kembalilah menengok (mengabdi) ke Keraton,” kata Romo Tirun.
Adapun dalam Sabdaraja yang diucapkan pada 30 April 2015, Sultan mengubah gelarnya menjadi Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalogo Langgeng ing Bawono Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama.
Sedangkan gelar sebelumnya sejak Sultan naik tahta pada 7 Maret 1989 berbunyi, Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing-Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pada Jumat (8/5/2015), Sri Sultan Hamengku Buwono X memberikan penjelasan mengenai Sabdaraja 30 April dan Dawuh Raja 5 Mei (pengangkatan GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi). Sultan mengakui bahwa hal ini akan menimbulkan perbedaan pendapat. Menurutnya, sebuah perubahan memiliki konsekuensi antara pro dan kontra.
“Dua sabda yang saya utarakan itu memang berat untuk dipahami orang lain, tapi yang melakukan juga lebih berat. Tapi, ya, enggak apa-apa ditanggung risikonya,” katanya.
Ia juga mengungkapkan adanya Sabdaraja dan Dawuh Raja, dirinya yang bertahta di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat hanya melaksanakan perintah Allah SWT melalui leluhur Mataram. Jika tidak dilaksanakan, ia khawatir menerima risiko lebih berat.
"Aku tidak apa-apa 'didebat' adik dan orang lain, yang tidak mengetahui sejatinya Sabdaraja dan Dawuh Raja ini. Jadi, saya tidak akan bereaksi apapun, saya menerima 'didebat'. Dari pada saya dimarahi oleh Tuhan," katanya saat menjelaskan makna Sabdaraja dan Dawuh Raja, menggunakan Bahasa Jawa.(*)