Mangut Beong, Ikan Asli Sungai Progo yang Nyaris Punah
Ikan berhabitat asli di sungai Progo itu lama kelamaan habis karena banyak ditangkap untuk ikan konsumsi
Penulis: Agung Ismiyanto | Editor: Ikrob Didik Irawan
Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto
TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - Menurunnya populasi ikan beong, menjadi sebuah persoalan dari masyarakat, pecinta beong, hingga pemerintahan di Kabupaten Magelang. Ikan berhabitat asli di sungai Progo itu lama kelamaan habis karena banyak ditangkap untuk ikan konsumsi. Namun, pembibitan dan juga pembenihan ikan yang hidup liar ini jarang dilakukan.
Fidil Rahmat merasa prihatin dengan terus berkurangnya populasi ikan yang memiliki nama latin mystus nemurus ini sejak akhir tahun 2000an. Ikan ini meski hidup liar di sungai-sungai di beberapa wilayah Indonesia, telah menjadi salah satu ikon Magelang. Hal itu identik dengan masakan sederhana nan nikmat berjuluk mangut beong Kabupaten Magelang.
Menurunnya populasi ikan berwarna hitam dengan tiga patil (senjata) di tubuhnya itu menyisakan persoalan. Sejumlah warung makan kuliner khas Magelang yang menyedot perhatian wisatawan daerah lain sampai kesulitan memenuhi permintaan ikan ini.
“Padahal, mangut beong harus tetap menjadi ikon kuliner Kabupaten Magelang. Soalnya tidak ada di daerah lain,” ucap Fidil saat ditemui di kantor Balai Benih ikan (BBI), Kecamatan Sawangan, Rabu (25/2/2015) lalu.
Persoalan berkurangnya dan terancam punahnya populasi ikan bersifat predator ini bahkan menjadi pembahasan hingga tingkat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magelang. Fidil kemudian bersama lima orang lainnya dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) BBI Kecamatan Sawangan lalu membuat terobosan.
Fidil yang merupakan Kepala UPT BBI Sawangan dan kawan-kawannya kemudian mencoba mengeksplorasi dan melakukan eksperimen untuk mengembang biakkan ikan beong dengan cara menangkarkan di kolam pada akhir tahun 2013. Ide dan langkah mulia untuk melakukan konservasi sumber daya alam ini, awalnya tak mulus.
Fidil dan timnya harus menemui kendala dalam proses mengawinkan dua indukan beong yang dipinjamnya dari kantor UPT BBI Provinsi Jawa Tengah (Jateng) di Muntilan. Selama enam bulan, ikan ini belum menunjukkan tanda-tanda dapat berkembang biak secara maksimal.
“Mungkin, saat awal kami tangkarkan, beong ini masih dalam proses adaptasi lingkungan. Hampir setengah tahun, dua indukan yang akan kami kembangbiakkan baru mau kawin,” jelasnya.
Dia mengungkapkan, setelah enam bulan, tepatnya di pertengahan tahun 2014, proses perkawinan dua indukan beong itu terjadi. Mereka bersorak. Namun, saat proses perkawinan dua induk beong ini juga memerlukan waktu dan proses amat panjang.
“Kami menunggu sampai 3-4 jam untuk proses perkawinannya. Dalam kurun waktu tersebut, indukan beog bisa kawin selama 10-12 kali. Kami juga harus telaten memindahkan telur dengan substrat yang terbuat dari ijuk,” paparnya.
15 Ribu Telur
Saat proses perkawinan itu, Fidil dan kawannya bisa menyaksikan mulut dua indukan ikan beong terbuka lebar. Sementara, ikan beong betina mengalami luka karena tubuhnya dibelit saat kawin. Sebab, saat proses perkawinan ikan jantan membelit tubuh betina hingga puluhan kali sampai sel telurnya habis.
“Kalau dalam satu kali proses perkawinan, satu ekor ikan beong betina bisa menghasilkan 15 ribu telur. Dengan penangkaran di kola mini, larva juga aman dari predator. Kalau dilepas ke alam, paling hanya 1 persen telur yang bertahan hidup sampai besar,” katanya.
Anakan beong berukuran 3 sentimeter itu kemudian ditangkarkan. Baru, jika anakan mencapai panjang hingga 5 atau 7 sentimeter, pihaknya akan melepas liarkan lagi ikan beong itu ke habitat aslinya di sungai Progo.