Warga Karanggawang Gelar Merti Dusun
Acara adat tersebut dilaksanakan setiap bulan Sapar dalam penanggalan Jawa
Penulis: ang | Editor: Ikrob Didik Irawan
Laporan Reporter Tribun Jogja, Angga Purnama
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Ada suasana yang berbeda saat memasuki Dusun Karanggawang, Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Minggu (14/12/2014). Nuansa kolosal nan kental nampak menghiasi dusun di kaki Gunung Merapi itu, seolah pengunjung yang datang kembali ke zaman dahulu.
Bagaimana tidak, pagi menjelang siang itu ratusan warga dusun setempat mengenakan busana jadul mirip nuansa syuting film berlatar belakang kerajaan di Tanah Jawa silam. Warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani itu bagi kaum pria tak lupa membawa peralatan pertanian seperti cangkul dan sabit, sementara para perempuan membawa keranjang dari anyaman bambu yang lazim disebut tenggok.
Nuansa kolosol diperkuat dengan adanya sosok prajurit yang berkeliling desa sembari menunggani kuda. Tidak hanya warga, bahkan jurnalis yang hendak meliput acara tersebut pun diminta mengenakan aksesoris pakaian tradisional berupa udeng atau ikat kepala.
Rupanya warga Dusun Karanggawang sedang mempunyai hajat besar yang digelar setiap tahunnya, yakni merti dusun. Acara adat tersebut dilaksanakan setiap bulan Sapar dalam penanggalan Jawa. Layaknya acara serupa, kegiatan ini diwarnai dengan kirab gunungan yang berisi hasil bumi yang berasal dari dusun setempat.
Kegiatan ini diawali dengan upacara penyerahan kendi air dari tokoh adat, sesepuh, dan pemimpin dusun maupun desa setempat kepada pimpinan kirab. Kendi air tersebut kemudian diisi dengan air suci yang berasal dari sumber mata air Karang Wening yang digunakan untuk menyucikan desa karena dianggap masih murni dan tidak pernah kering meski musim kemarau melanda.
Namun dalam perjalanannya, prosesi pengambilan air suci ini mendapatkan gangguan dari sosok buto atau raksasa dalam mitologi Jawa yang berarti marabahaya atau bala. Tapi dengan kesaktian dan niat tulus dari pimpinan dusun setempat, raksasa dapat dikalahkan hingga akhirnya menyingkir.
Setelah mendapatkan air suci, rombongan kemudian bersama masyarakat membawa air suci tersebut keliling desa. Selanjutnya, air tersebut dibagikan kepada warga sebagai tanda persucian desa dari hal buruk dan marabahaya yang mengancam.
"Merti sendiri berarti nguri-uri atau memlihara, baik secara lahir maupun spiritual. Dalam acara ini, dimaksudkan untuk mengajak masyarakat untuk ikut merawat lingkungan atau bumi," papar Hadi Sutrisno, juru kunci mata air Karang Wening kepada tribunjogja.com
Menurutnya, pengambilan air suci tersebut merupakan gambaran masyarakat ikut berpartisipasi menjaga lingkungan tempatnya tinggal. Hal ini lantaran dari hasil alam yang ada di dusun setempatlah masyarakat bergantung.
"Karena mata pencaharian mayoritas warga dari pertanian, maka sudah sewajarnya jika warga ikut nguri-uri alam," kata dia.
Uapaca ini, kata Sutrisno, juga sebagai doa dan pengharapan warga agar dijauhkan dari bencana alam yang dapat terjadi setiap saat. "Upacara ini merupakan gambaran keselarasan hidup masyarakat dengan alam. Apalagi masyarakat hidup di lereng GUnung Merapi," imbuhnya.
Usai kirab keliling dusun menempuh jarak dua kilometer, gunungan yang merupakan hasil swadaya warga itu diperebutkan oleh warga yang sudah lama menanti. Hanya dalam hitungan menit dua gunungan hasil bumi itu ludes diperebutkan warga.
Tidak hanya menarik perhatian warga setempat, upacara adat tahunan ini juga berhasil menarik perhatian wisatawan dari luar Yogyakarta dan wisatawan asing. Beberapa wisatawan asing nampak antusias menyaksikan prosesi upacara adat tersebut. (tribunjogja.com)