Revitalisasi Malioboro
Plang Jalan Malioboro, Salah Satu Wujud Identitas Yogya
Plang nama Jalan Malioboro yang juga bertuliskan aksara Jawa merupakan satu diantara banyak identitas Yogyakarta
Penulis: Hendy Kurniawan |
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Plang nama Jalan Malioboro yang juga bertuliskan aksara Jawa merupakan satu diantara banyak identitas Yogyakarta. Hal ini lah kemudian banyak dijadikan wisatawan sebagai penanda pernah berkunjung ke Malioboro dengan berfoto di depan plang.
"Malioboro sekarang ini diciptakan dengan berlandaskan kebudayaan. Bahkan kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya atas dasar bagaimana sejarah panjang tercipta di sini lengkap dengan berbagai penunjangnya. Mulai dari bangunan sampai cindera mata yang dijual merupakan produk budaya. Ini semua merupakan identitas budaya yang dikenal dunia internasional," kata Koordinator Masyarakat Advokasi Budaya (Madya), Joe Marbun kepada Tribun Jogja, Senin (3/9/2012).
Menurutnya, plang nama jalan dengan menyantumkan aksara Jawa dapat menjadi trade mark yang selama ini telah melekat pada benak masyarakat. Jika harus diganti dengan plang nama kawasan berbentuk baru, sama saja menghilangkan unsur identitas yang lama dibangun.
Namun, lanjutnya, ketika plang Jalan Malioboro model lama dipasang kembali walaupun posisinya berubah (di sisi timur), masih mengakomodir tujuan pelestarian identitas kebudayaan Jawa. Yaitu, pencantuman aksara Jawa itu sendiri.
Penataan kawasan Malioboro ditegaskannya, tak boleh meninggalkan unsur pemanfaatan dan pelestarian budaya. Namun, pemerintah seolah meninggalkan aspek kebudayaan dalam upaya revitalisasinya.
Leading sector, dalam hal ini Dinas Kebudayaan baik kota maupun provinsi tidak pernah dilibatkan selama proses revitalisasi. Sehingga, permasalahan yang ada seperti macet, parkir sampai kaki lima tidak diselesaikan dengan pendekatan budaya.
"Padahal telah disepakati bahwa kebudayaan adalah satu diantara tiga pilar utama Yogyakarta. Selain pariwisata dan pendidikan. Tentunya, pendekatan budaya menjadi dasar pemikiran atau minimal menjadi pertimbangan sebelum mengambil keputusan revitalisasi Malioboro," tandas Joe.
Tanpa hal ini, dapat menyebabkan ketidaktepatan tindakan yang diambil pemerintah. Meskipun tujuan yang ingin dicapai adalah kemajuan atau pengembangan ke arah positif.
"Penggantian plang tanpa aspek pemikiran budaya menjadi buktinya. Kontroversi dan kritikan terhadap plang yang baru dari masyarakat seharusnya bisa dijadikan pembelajaran. Alangkah bijaknya bila masyarakat dilibatkan dalam proses penjaringan aspirasi sebelum memulai suatu perubahan. Terutama di kawasan cagar budaya yang jumlahnya cukup besar di DIY," tutup Joe.