Labuhan Merapi
Ritual Labuhan Harmonisasi Manusia dan Alam
simbolisasi dari harmonisasi hubungan antar makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya
Penulis: Mona Kriesdinar | Editor: Iwan Al Khasni
Menurut KRT H Jatiningrat cucu HB VIII atau putra GBPH Prabuningrat. Labuhan adalah proses simbolisasi dari harmonisasi hubungan antar makhluk hidup dan lingkungan sekitarnya, seperti manusia dengan Laut Selatan dan Gunung Merapi.
Upacara adat Labuhan Merapi digelar kali kedua pasca erupsi dahsyat 2010. Ratusan orang mengikuti upacara dengan ikut berjalan melewati tanjakan curam di belakang iring-iringan juru kunci Merapi yang baru, Mas Lurah Surakso Asihono atau yang akrab dipanggil Mas Asih.
Rombongan sempat berhenti sejenak sebanyak dua kali untuk menyesuaikan jarak antara rombongan pertama abdi dalem dengan rombongan kedua yang merupakan rombongan para keparak atau abdi dalem perempuan.
Sesekali mereka memang terpaut jarak meski tidak begitu jauh. Wajar saja, para keparak ini menggunakan kain sinjang yang membuat langkah mereka tak begitu leluasa. Selain itu, mereka juga masing - masing membawa beban berupa sesajian seberat hampir 10 kilogram.
"Jalurnya jauh lebih pendek dibandingkan dengan lokasi labuhan sebelum erupsi dulu. Tapi tetap saja, ini juga menantang, sampai mandi keringat gini," ujar Yu Muji, seorang Keparak dari Kepuharjo seraya merapikan bedaknya yang luntur karena keringat.
Jalurnyan hanya jalan selebar sekitar 1,5 meter itu, digunakan sebagai jalur utama menuju lokasi prosesi budaya yang berlangsung di Alas Bedengan. Lokasinya, biasa ditempuh selama setengah jam perjalanan dari pertigaan jalur pendakian di Ngrangkah, Kinahrejo, Cangkringan.
Setelah erupsi tahun 2010, banyak material pasir dan batu yang masih berserakan. Selain itu, disamping kiri dan kanan jalan terdapat tebing curam yang merupakan hulu Kali Kuning dan Kali Gendol.
Meski begitu, sebagian besar kawasan yang sempat luluh lantak ini, pepohonan hijau sudah mulai tumbuh. Sekarang pengunjung bisa menyaksikan rimbunnya pepohonan dan rumput yang tumbuh subur di kawasan itu.
Lokasi ini juga menjadi daya tarik bagi para wisatawan untuk menikmati keindahan lereng merapi. Hingga wajar saja, dimanfaatkan sejumlah warga untuk menjajakan aneka makanan ringan serta lahan subur untuk mengais rezeki lewat jasa transportasi lava tour.
Sejak labuhan lama atau sering disebut sebagai Pos Rudal hancur berkeping-keping lantaran di erupsi Merapi, lokasi labuhan Merapi dipindahkan ke lokasi seputaran alas Bedengan. Jauh lebih rendah lokasinya dari labuhan lama.
Pada ritual kali ini, rombongan membawa uba rampe tahun diantaranya Sinjang Kawung Kemplang yang diganti dengan Sinjang Limar. Meski begitu, ia mengaku tak begitu paham dengan penggantian uba rampe tersebut karena merupakan wewenang pihak keraton.
Akan tetapi, ia mengisyaratkan bahwa syarat uba rampe bisa menyesuaikan situasi dan kondisi tanpa harus keluar dari pakem yang sudah dilakukan secara turun temurun. Adapun uba rampe yang saat itu dibawa, meliputi Sinjang Cangkring, Sinjang Limar, Semekan Gadung Melati, Semekan Gadung, Desthar Doro Muluk, Peningset, Seswangen, Arto Tindeh, serta Kambil.
Watangan yang berupa perlengkapan berkuda. Semua uba rampe itu, dibawa kembali seselesainya prosesi acara. Hanya kembang setaman saja yang ditinggalkan di altar Alas Bedengan. (*)
Terkait : Abdi Dalem Umur 3,5 Tahun Ikut Labuhan