Melihat Studio Foto Jalanan yang Mengabadikan Keluarga Migran dan Pengungsi Tijuana
Studio Transfronterizo yang didirikan di Tijuana, Meksiko, memperlihatkan sekilas kehidupan di perbatasan paling sibuk di dunia.
TRIBUNJOGJA.COM - Latar fotonya sangat simpel: hanya selembar kain, sebuah kursi, dan beberapa bunga.
Di depan latar tersebut, mereka berhenti melakukan segala aktivitas, duduk untuk difoto, kemudian menunggu selembar fotonya dicetak.
Di balik kamera, ada Alexia Webster. Ia merupakan fotografer asal Afrika Selatan yang kerap mendirikan ‘studio jalanan’ di beberapa negara di dunia.
Studio Transfronterizo yang didirikannya di Tijuana, Meksiko, memperlihatkan sekilas kehidupan di perbatasan paling sibuk di dunia.
Setiap harinya, hampir 100 ribu orang–komuter, siswa, dan pengunjung–secara legal melintasi Tijuana menuju San Diego, California, dan San Ysidro.
• Parlemen AS Minta Facebook Stop Kembangkan Mata Uang Kripto ‘Libra’
Webster membangun studio pertamanya di dekat kafe di mana para pendatang kerap berhenti untuk mendapatkan nasihat hukum dan makan siang gratis.
Webster juga mendirikan studio lainnya di beberapa titik di Tijuana. Di antaranya di tempat penampungan migran, pantai dekat perbatasan, serta Undocumented Café dekat Friendship Park.

Pejalan kaki yang tertarik dengan studio jalanan milik Webster biasanya sering mampir untuk mendapatkan sebuah potret. Salah satunya adalah Lourdes Santiago González yang berpose dengan anak perempuannya, Brenda.
Lourdes tiba di Meksiko beberapa dekade sebelumnya dengan keluarganya. Selama ini, ia berupaya menyebrangi perbatasan tapi selalu gagal sehingga terpaksa tetap tinggal di Tijuana.

Di setiap latar, barisan orang menunggu untuk difoto. Ada mantan anggota geng yang dideportasi dari California, peniru selebriti yang biasa tampil di klub malam, hingga para migran dari Honduras dan El Salvador yang sedang dalam perjalanan menuju Amerika Serikat.
• Sering Duduk Menyilangkan Kaki? Hati-hati, Spider Veins hingga Kelumpuhan Mengintai Anda
Lebih dari satu dekade lalu, Webster sedang memotret untuk proyek PBB di sebuah kamp pengungsi di Kenya ketika seorang pria mengatakan bahwa ia tidak memiliki satu pun foto dengan keluarganya.
Webster kemudian teringat foto dirinya bersama dengan kakek, nenek, dan ibunya. Foto tersebut diambil di sebuah studio sebelum Webster dan keluarganya bermigrasi dari Yunani ke Afrika Selatan.
“Itu adalah foto yang paling berharga karena bisa mengingatkan asal usul saya,” ujarnya.

Webster sadar bahwa selama ini subjek fotonya kebanyakan adalah korban perang. Mereka melarikan diri dan berusaha bertahan hidup hingga meninggalkan arsip pribadi di rumahnya. Wajar jika mereka tidak memiliki foto sama sekali.
Oleh sebab itu, Webster ingin memberikan mereka satu foto untuk menyemangati mereka dalam membangun hidupnya kembali.
