Idul Fitri 1439 H
Terpaksa Batalkan Puasa Syawal Saat SIlaturahmi? Ini Hukumnya
Puasa syawal merupakan puasa sunah yang dikerjakan selama enam hari di bulan Syawal.
Penulis: Hanin Fitria | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM - Setelah merayakan Idulfitri umat muslim disunahkan untuk melaksanakan puasa syawal.
Puasa syawal merupakan puasa sunah yang dikerjakan selama enam hari di bulan Syawal.
Idealnya puasa sunah Syawal enam hari itu dilakukan persis setelah Idulfitri, yakni pada 2-7 Syawal.
Selain menjalankan ibadah sunah tersebut, umat muslim juga diperintahkan untuk saling bersilaturahmi.
Silaturahmi bisa dilakukan dengan mengunjungi rumah saudara, tetangga, relasi kerja dan orang-orang sepergaulannya.
Saat menjalani dua ibadah tersebut, terkadang umat muslim memiliki kendala tersendiri.
Misal saat bertamu ke rumah tetangga, justru ditawari makanan dan minuman oleh tuan rumah.
Lalu sebaiknya bagaimana sikap ideal yang terbaik untuk diambil, tetap berpuasa atau membatalkannya?
Dilansir NU Online dalam kondisi seperti ini dapat mencontoh sikap yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ketika ada sebagian sahabat yang bersikukuh puasa sunnah di tengah jamuan makanan ia bersabda:
يَتَكَلَّفُ لَكَ أَخُوكَ الْمُسْلِمُ وَتَقُولُ إنِّي صَائِمٌ، أَفْطِرْ ثُمَّ اقْضِ يَوْمًا مَكَانَهُ. (الدَّارَقُطْنِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ
Artinya, “Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan kamu berkata, ‘Saya sedang berpuasa?’ Batalkanlah puasamu dan qadha’lah pada hari lain sebagai gantinya,” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).
Kemudian dari sinilah para ulama merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalus surur) tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi SAW dalam hadits tersebut.
Bahkan dalam kondisi seperti ini dikatakan, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa.
Dalam konteks ini Ibnu ‘Abbas RA mengatakan:
مِنْ أَفْضَلِ الْحَسَنَاتِ إِكْرَامُ الْجُلَسَاءِ بِالْإِفْطَارِ
Artinya, “Di antara kebaikan yang paling utama adalah memuliakan teman semajelis dengan membatalkan puasa (sunah),” (Lihat Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin). (*)