Lipsus Kredit Online
Penyedia Jasa Fintech Diharapkan Transparan pada Masyarakat
Apalagi penyedia platform biasanya hanya berperan sebagai wadah pertemuan pemberi pinjaman dan peminjam.
TRIBUNJOGJA.COM - Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso berharap penyedia layanan fintech, terutama model peer-to-peer lending untuk lebih transparan menjelaskan mekanisme kerja dan risikonya pada masyarakat.
Hal tersebut terkait dengan risiko peer-to-peer lending yang sangat tinggi dan tidak memiliki jaminan apapun.
Apalagi penyedia platform biasanya hanya berperan sebagai wadah pertemuan pemberi pinjaman dan peminjam.
"Peer to peer lending platform ini harus transparan sehingga nasabah dan pemberi pinjaman tahu benar risikonya," ujar Wimboh saat ditemui di sela Mandiri Investasi Outlook 2018.
"Jangan sampai customer-nya masyarakat tadi merasa dirugikan karena tidak tahu. Pemberi pinjaman juga harus mengerti kalau ada risiko. Jangan sampai tidak mengerti," tambah dia.
Baca: Kredit Macet Fintech Mencapai Rp 3,8 Miliar
Wimboh menyebutkan, salah satu bentuk transparansi yang dimaksud adalah keterbukaan soal bunga pinjaman tersebut.
OJK sendiri tidak akan membatasi bunga, namun penyedia platform mesti terbuka mencantumkannya, jangan sampai pemberi pinjaman dan yang meminjam tidak mengetahui.
Jika nantinya orang yang ingin memberi pinjaman dan yang meminjam sudah sama-sama paham serta menerima syarat hingga risiko transaksi, maka silakan saja bertransaksi atas tanggung jawab sendiri.
"Kalau sudah tahu ada risiko dan tetap melakukan itu artinya sudah paham, sudah merasa tidak dibohongi," ucapnya.
Peer-to-peer landing adalah model layanan keuangan digital yang menawarkan pinjaman uang pada orang yang membutuhkan.
Sesuai sebutannya, layanan ini mempertemukan antara pinjaman dengan kebutuhan meminjam.
Baca: Kredit Online Bunganya Sangat Tinggi, Bisa 273,75 Persen per Tahun
Hingga saat ini baru 36 fintech telah mendaftarkan diri ke OJK.
Padahal setidaknya terdapat 120 perusahaan yang terdeteksi bergelut di fintech ini.