Bakpia dan Kuliner Saksi Bisu Toleransi dan Pluralisme di Yogya

Selain rasanya yang enak, Bakpia juga menjadi simbol bagaimana proses akulturasi, pluralisme dan toleransi yang ada dan terjadi di Yogyakarta.

Penulis: dnh | Editor: oda
tribunjogja/hasan sakri ghozali
Sejumlah warga berebut gunungan yang berisi bakpia di jalan KS Tubun, Kota Yogyakarta, Minggu (18/9/2016). Event tahunan yang telah nenasuki tahun ke 5 ini merupakan bentuk syukur dari kasawan Pathuk yang terkenal sebagai sentra pembuatan bakpia. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Dwi Nourma Handito

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Bakpia menjadi satu dari dua makanan atau kuliner asal Yogyakarta yang menjadi warisan budaya tak benda Indonesia, selain Gudeg.

Salah satu ikon kuliner Yogyakarta ini pada 2016 lalu berhasil mendapatkan sertifikat warisan budaya, kategori kemahiran tradisional.

Selain rasanya yang enak, Bakpia juga menjadi simbol bagaimana proses akulturasi, pluralisme dan toleransi yang ada dan terjadi di Yogyakarta.

Bukan berasal atau asli Yogyakarta, Bakpia justru berkembang dan kini menjadi salah satu identitas yang termasyhur dan melekat dengan Yogyakarta.

“Makanan tradisional menjadi masuk (kemahiran tradisional) menunjukan adat istiadat suatu daerah, misalnya Bakpia,” kata Kepala Bidang Pelestarian Warisan dan Nilai Budaya Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi ketika ditemui Tribun Rabu (18/1/2017).

Dian mengatakan, Bakpia terpilih karena memiliki kekuatan cerita di balik produk makananya sendiri, meskipun di daerah lain ada Bakpia seperti Surabaya dan Bali dan sama-sama diajukan oleh daerah tersebut untuk menjadi warisan budaya, namun cerita Bakpia di Yogyakarta berbeda dari dua daerah tersebut dan memiliki makna tersendiri.

Guru besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga peneliti senior Pusat Kajian Makanan Tradisional UGM, Prof Murdijati Gardjito mengatakan bahwa Bakpia adalah satu dari ragam kuliner di Yogyakarta yang merupakan hasil dari terjadinya akulturasi. Menurutnya, Bakpia awalnya berasal dari China.

Sama seperti mie yang awalnya juga diduga kuat berasal dari China, yang kemudian mie di Yogyakarta mengalami proses akulturasi dan menjadi bakmi jawa yang tidak kalah kondang menjadi ikon kuliner di Yogyakarta.

Prof Murdijati sudah melakukan kajian terkait bakpia dan yang digunakan dalam penetapan bakpia menjadi warisan budaya.

Bakpia menjadi simbol pluralisme, karena awalnya bakpia adalah sebuah kudapan dari kaum minoritas yang dikenal menggunakan bahan yang tidak dapat diterima kaum mayoritas.

Namun akhrinya mampu melakukan kompromi dan tidak hanya diterima namun akhirnya dicintai.

“Makanan adalah sebuah perjalanan dari kehidupan, katakanlah Bakpia di negara sana malah gak ada, tetapi karena pada waktu itu orang Tionghoa merantau, lalu di sini ada bahannya lalu mereka membuat itu,” ujar Prof Murdijati ditemui di kediamannya.

“Itu menjadi simbol akulturasi China ke dalam orang Jawa. Dan itu bukti toleransinya orang Jawa untuk menerima budaya Tionghoa,” lanjutnya.

Diketahui pula, dari buku Bakpia Si Bulat Manis yang Selalu Dicari, di negara asalnya, asal usul bakpia adalah kue bulan Tong Cu Pia yang ukurannya lebih besar. Pada awalnya hanya beberapa warga keturunan Tionghoa yang membuat kudapan manis ini.

Namun kemudian lambat laun bakpia menjadi booming dan menjadi industri di masyarakat Yogyakarta dan menyebar menjadi industri rumahan. Serta menjadi kaitan erat dengan pariwisata Yogyakarta.

Pengaruh budaya China dalam bidang kuliner memang sangat erat dan banyak mendominasi.

Hal ini sejalan dengan hadirnya para pendatang dari China yang terjadi secara bergelombang.

Peneliti Sejarah dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta, Dwi Ratna Nurhajarini mengatakan pengaruh budaya Tiongkok dapat ditemui di kuliner di beberapa daerah termasuk Yogyakarta.

“Warga Tionghoa datang (ke Indonesia) dengan bergelombang dan dalam periode cukup lama. Diduga dengan kedatangan itu, mereka juga membawa budaya kuliner mereka dan dipraktekan dengan membuat kuliner dengan bahan yang ada, diolah disini,” kata Ratna kepada Tribun Jogja, belum lama ini.

Mulai dari
Ragam Lain
Halaman
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved