Harga Rokok di Indonesia Diusulkan Naik Menjadi Rp 50 Ribu per Bungkus
Hal tersebut membuat orang yang kurang mampu hingga anak-anak sekolah mudah membeli rokok.
TRIBUNJOGJA.COM - Pemerintah mengaku mendengarkan usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus. Oleh karena itu, pemerintah akan mengkaji penyesuaian tarif cukai rokok sebagai salah satu instrumen harga rokok.
"Cukai rokok belum kami diskusikan lagi tapi kami kan biasanya setiap tahun ada penyesuaian tarif cukainya," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara di Perkantoran Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (17/8/2016) dikutip dari Kompas.com.
Selama ini, harga rokok di bawah Rp 20.000 dinilai menjadi penyebab tingginya jumlah perokok di Indonesia. Hal tersebut membuat orang yang kurang mampu hingga anak-anak sekolah mudah membeli rokok.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany dan rekan-rekannya, ada keterkaitan antara harga rokok dengan jumlah perokok.
Dari studi itu terungkap bahwa sejumlah perokok akan berhenti merokok jika harganya dinaikkan dua kali lipat. Dari 1.000 orang yang di survei, sebanyak 72 persen bilang akan berhenti merokok kalau harga rokok di atas Rp 50.000.
Pemerintah sendiri mengatakan bahwa cukai rokok selalu ditinjau ulang setiap tahun. Sejumlah indikator menjadi pertimbangan yakni kondisi ekonomi, permintaan rokok, dan perkembangan industri rokok.
Data Tribun Jogja.com menyebutkan, rokok sudah menjadi bagian dari "kebutuhan pokok" masyarakat terutama masyarakat miskin. BACA LIPSUS: Data BPS, Belanja Rokok Jadi Nomor Dua
Hal itu Merujuk data dari profil kemiskinan DIY yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, per Maret 2016, rokok menjadi satu dari beberapa komoditi makanan yang memberikan kontribusi pada garis kemiskinan.
Di perkotaan, rokok menempati peringkat kedua setelah beras. Sama dengan di pedesaan, namun persentasenya lebih tinggi di perkotaan yakni 10,79 persen sedangkan di pedesaan sebesar 6,88 persen. Sementara dibawah rokok ada komoditas lain, seperti telur dan daging.
Sementara itu, DIY merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi penyakit tidak menular (PTM) yang tinggi. Tingginya prevalensi ini disebabkan karena perilaku beresiko yang dilakukan oleh masyarakat.
Konsumsi makanan yang tidak sehat menjadi salah satu penyebab, selain juga karena konsumsi tembakau. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, 26,9 persen penduduk DIY mengkonsumsi tembakau.
Hal ini juga berpengaruh terhadap capaian perilaku hidup bersih, 2014 Dinas Kesehatan DIY mencatat rumah tangga yang berperilaku hidup bersih hanya 36, 27 persen. Ditengarai ini akibat tingginya presentase anggota keluarga yang merokok di rumah yakni 52,62 persen.
"Di Jamkesos, penduduk miskin memang mengeluarkan biaya untuk membeli rokok itu besar. Dan itu lebih baik jika untuk membeli premi atau iuran insurance," ujar Kepala Dinas Kesehatan DIY, Pembajun Setyaningastutie. (*)