Sering Curhat ke AI? Waspadai Resiko dan Kenali Tips Bijak Penggunaanya!

Dilansir dari laman Indonesia Artificial Inteelegence Hub, psikolog sekaligus Direktur Senior Inovasi Perawatan Kesehatan di American Psychological

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
Pexels/TungNguyen
Ilustrasi artificial intelegence, yang sering dijadikan tempat curhat bagi kalangan muda (Pexels/TungNguyen) 

TRIBUNJOGJA.COM- Seiring berkembangnya zaman, penggunaan Artifial Intelegence (AI) semakin marak, terutama bagi kalangan anak muda.

Cara penggunaannya yang praktis dan cepat menjdi salah satu alasan yang tidak terbantahkan.

Mulai dari soal sederhana hingga rumit dapat dipecahkan dalam waktu yang singkat oleh AI.

Sehingga, tidak jarang pula para anak muda memanfaatkan AI sebagai tempat curhat, baik terkait permasalahan atau kebigungan pribadinya.

Mengutip dari laman Hellosehat.com, terdapat sebuah survei berjudul “In AI, We Trust” yang dipublikasikan oleh Snapcart pada April 2025 menyoroti tren penggunaan AI pada 3.611 responden dari berbagai usia di Indonesia.

Berdasarkan survei tersebut, sebanyak 6 persen orang Indonesia diketahui menggunakan kecerdasan buatan sebagai teman curhat.

Di antara orang yang menggunakan AI untuk berbicara atau berbagi perasaan, sebanyak 58 persen mengakui bahwa mereka terkadang menganggap AI berpotensi menggantikan peran psikolog. 

Apa Resiko Curhat ke AI?

Dilansir dari laman Indonesia Artificial Inteelegence Hub, psikolog sekaligus Direktur Senior Inovasi Perawatan Kesehatan di American Psychological Association, Vaile Wright, mengingatkan bahwa chatbot tidak boleh dijadikan sebagai terapis.

Karena menurutnya, chatbot AI cenderung memberikan jawaban yang ingin didengar oleh penggunanya, bukan jawaban yang tepat secara medis atau psikologis. 

Dengan kata lain, chatbot hanya “menjiplak” kata-kata pengguna dan menyusunnya kembali menjadi respons yang sesuai harapan, tanpa mempertimbangkan konteks psikologis pengguna secara mendalam.

Meskipun terlihat positif, kebiasaan curhat kepada AI sebenarnya bisa menjadi cerminan dari kesenjangan komunikasi antara remaja dengan orang tua atau teman-temannya.

Ketergantungan ini berpotensi menimbulkan beberapa risiko serius antara lain seperti.

1.Menghambat Interaksi Sosial

Interaksi yang berkelanjutan dengan AI, yang selalu memberikan respons instan, dapat menumpulkan kemampuan sosial seseorang.

Hal ini bisa membuat individu merasa canggung dan sulit untuk terbuka di depan umum.

Akibatnya, kurangnya interaksi langsung dengan manusia berpotensi menjurus pada isolasi sosial

2. Kurangnya Empati Otentik

Meski terkadang responsnya logis, nasihat atau jawaban dari AI bisa saja tidak sesuai dengan konteks karena ia hanya memproses data, bukan merasakan emosi.

Berbeda dengan manusia, AI tidak memiliki empati sejati, kesadaran, atau pemahaman emosional karena AI tidak pernah mengalaminya.

Jadi jangan, langsung menelan mentah-mentah informasi yang kamu dapatkan dari AI ya.

Banyak pengguna salah mengira bahwa AI seperti ChatGPT, Gemini, DeepSeek, Grook, Meta bisa berfungsi layaknya psikolog atau ahli profesional lainnya.

Padahal, AI hanyalah algoritma yang dirancang untuk mencerminkan preferensi penggunanya, bukan memberikan nasihat yang benar secara profesional.

Menelan mentah-mentah nasihat dari AI bisa berisiko dan berbahaya.

Tips Bijak Menggunakan Chatbot AI

Menggunakan AI sebagai teman curhat bisa bermanfaat.

Asalkan Anda melakukannya dengan bijak agar kesehatan mental tetap terjaga.

Berikut adalah beberapa tips yang dapat Anda coba lakukan.

  1. Jangan jadikan AI sebagai satu-satunya sumber informan. Gunakan chatbot sebagai alat untuk mendapatkan perspektif awal atau ide tambahan, bukan sebagai pengganti profesional seperti psikolog atau konselor.
  2. Selalu verifikasi informasi. Nasihat dari AI bisa saja tidak akurat. Oleh karena itu, selalu periksa kembali setiap saran, terutama yang berkaitan dengan isu penting seperti kesehatan mental, fisik, atau keuangan.
  3. Batasi interaksi emosional. AI tidak bisa menggantikan hubungan sosial yang nyata. Alih-alih terlalu bergantung pada AI, prioritaskan untuk membangun dan memperkuat hubungan dengan keluarga, teman, atau komunitas di sekitar Anda.
  4. Manfaatkan AI untuk tujuan produktif. Gunakan AI untuk hal-hal yang dapat meningkatkan keterampilan Anda, seperti membantu menulis, belajar, atau mencari inspirasi.
  5. Konsultasi dengan profesional jika dibutuhkan. Apabila Anda menghadapi masalah mental yang serius, jangan ragu untuk segera mencari bantuan dari psikolog atau konselor berlisensi.

Baca juga: Contoh Prompt AI untuk Mobil Innova Reborn, Isuzu Panther dan Kijang Kapsul

Meskipun AI menawarkan kemudahan dan kenyamanan sebagai teman curhat, kita harus menyadari bahwa ia tidak dapat menggantikan interaksi emosional dan sosial yang autentik.

Bergantung pada AI secara berlebihan dapat mengikis kemampuan sosial kita, menimbulkan ketergantungan emosional, dan berisiko menyesatkan karena ia tidak memiliki empati atau kesadaran sejati.

Oleh karena itu, gunakanlah AI dengan bijak, manfaatkan untuk tujuan produktif, dan jangan jadikan sebagai pengganti hubungan manusia yang sesungguhnya.

Ingatlah, ketika menghadapi masalah serius, bantuan terbaik tetap datang dari profesional berlisensi dan dukungan dari orang-orang terdekat. 

(MG Sabbih Fadhillah)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved