Guru Besar UGM: MBG Sebaiknya Diserahkan ke Kantin Sekolah
Program Makan Bergizi Gratis masih menjadi perhatian sejumlah kalangan pascainsiden keracunan sejumlah siswa
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Joko Widiyarso
“Jumlah yang sangat besar tentunya, dan diharapkan akan mendongkrak konsumsi dan menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi. Namun kembali ke pertanyaan awal riuhnya program MBG, persoalan muncul pada delivery mechanism,” paparnya.
Agus menyampaikan sudah banyak program yang sasaran dan basisnya mengarah untuk siswa serta masyarakat tidak mampu seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial atau bansos.
Program-program tersebut selama ini menyasar setidaknya 20 persen pada keluarga tidak mampu. Pada tahun 2010 penyaluran BOS sempat mengalami persoalan dan akhirnya didistribusikan langsung ke satuan pendidikan, dan BOS ini diberikan ke sekolah/madrasah/satuan pendidikan berbasis pada besar kecilnya siswa.
“Pertanyaannya, kenapa MBG yang tujuannya sangat bagus tidak dilakukan menggunakan mekanisme yang sudah ada? Bukankah UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa pendidikan merupakan urusan konkuren dan daerah diberi kewenangan? Kabupaten/Kota mengelola SD/SMP, Provinsi mengelola SMK/SMA dan pendidikan berbasis agama masih dibawah Kemenag,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Agus Sartono berpandangan ada baiknya daerah-daerah diberikan kewenangan sesuai undang-undang, dan Badan Gizi Nasional (BGN) hanya melakukan monitoring.
Dengan cara dan pemberdayaan Pemerintahan Daerah, menurutnya, akan menjamin kemudahan dalam koordinasi dan tingkat keberhasilan akan jauh lebih baik.
Belajar dari praktik baik negara maju, kata Agus Sartono, program MBG dilaksanakan melalui kantin sekolah.
Cara ini, disebutnya, lebih baik dibanding dengan cara atau sistem sistem yang diterapkan di Indonesia saat ini. Melalui kantin sekolah maka makanan akan tersaji fresh, dan menghindari makanan basi.
Dengan skala relatif kecil dan lebih terkontrol mestinya cara-cara seperti ini bisa dilakukan di Indonesia.
“Sekolah bersama komite sekolah saya kira mampu mengelola ini dengan baik,” urainya.
Jika itu diterapkan, lanjut Agus, kebutuhan bahan baku bisa dipenuhi dari UMKM di sekitar sekolah sehingga tercipta sirkulasi ekonomi yang baik.
Dengan demikian sekolah mendapatkan dana utuh sebesar 15 ribu rupiah per porsi, bukan seperti yang terjadi selama ini hanya sekitar 7.000 rupiah per porsi.
Alternatif lain, dana bisa diberikan secara tunai kepada siswa, dan melibatkan orang tua untuk membelanjakan dan menyiapkan bekal kepada putra putrinya.
"Jika sampai satu bulan tidak membawa bisa memanggil orang tuanya, dan jika masih terus bisa dihentikan. Cara seperti ini saya kira tidak saja menanggulangi praktek pemburu rente, tetapi juga dipercaya akan lebih efektif. Dana dapat ditransfer langsung ke siswa setiap bulan seperti halnya KIP, atau seperti penyaluran BOS,” tuturnya.
Menurutnya penyaluran MBG melalui Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) dinilai hanya menguntungkan pengusaha besar yang mampu terlibat dalam program mulia ini.
Tragedi MBG Semin: Ketika Suapan Makanan Bergizi Malah Menjadi Bakteri |
![]() |
---|
Ratusan Siswa dan Guru di Purworejo jadi Korban Keracunan Massal Program MBG |
![]() |
---|
Kulit Pisang Tak Lagi Sia-Sia, Kini Jadi Alternatif Plastik Ramah Lingkungan |
![]() |
---|
MBG Belum Lepas dari Persoalan, Mekanisme Distribusi Dinilai Bermasalah |
![]() |
---|
Suara Ibu Indonesia Kembali Bunyikan Panci, Soroti Rantai Penyediaan MBG yang Sentralistik |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.