Makna Bubur Merah dan Putih dalam Adat Jawa: Simbol Harmoni Kehidupan

Bubur merah dan putih sering disajikan dalam ritual selamatan, terutama terkait kelahiran anak atau syukuran panen.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
Pinterest.com
Bubur merah dan putih 

TRIBUNJOGJA.COM – Budaya Jawa kaya akan tradisi yang penuh makna filosofis, salah satunya adalah penyajian bubur merah dan putih dalam berbagai upacara adat. 

Tradisi ini bukan sekadar hidangan kuliner, melainkan representasi mendalam dari nilai-nilai kehidupan, kesetaraan gender, dan keharmonisan alam semesta menurut pandangan masyarakat Jawa

Bubur merah dan putih sering disajikan dalam ritual selamatan, terutama terkait kelahiran anak atau syukuran panen. 

Tradisi ini mencerminkan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun, menekankan keseimbangan antara unsur maskulin dan feminin dalam kehidupan manusia.

Asal-Usul dan Penggunaan Bubur Merah dan Putih

Dalam adat Jawa, bubur merah dan putih biasanya disajikan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi yang dikenal sebagai selamatan pitu weton atau ruwatan . 

Ritual ini bertujuan untuk membersihkan aura bayi dari pengaruh buruk dan memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Adat istiadat Jawa, bubur ini juga muncul dalam acara tumpengan (syukuran panen) atau slametan untuk acara penting seperti pernikahan dan kematian, sebagai simbol syukur atas rezeki yang diberikan.

Penyajian bubur dilakukan secara sederhana namun penuh makna, seperti bubur merah dibuat dari beras putih yang direbus dengan air jahe merah, sementara bubur putih dari beras yang direbus dengan air kapur sirih atau santan. 

Kedua jenis bubur ini diletakkan di mangkuk besar, sering kali dikelilingi oleh lauk-pauk sederhana seperti telur rebus, sayur urap, dan kacang hijau. 

Tradisi ini masih lestari di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, meskipun adaptasi modern telah membuatnya lebih sederhana.

Simbolisme Bubur Merah

Bubur merah melambangkan unsur maskulin atau purusa dalam filsafat Jawa yang identik dengan kekuatan, keberanian, dan energi aktif. 

Warna merah dari jahe merah dianggap sebagai simbol darah kehidupan atau darah urip yang mewakili semangat laki-laki atau anak laki-laki yang baru lahir. 

Dalam konteks ritual kelahiran, bubur merah diberikan kepada ayah bayi atau ditempatkan di sisi timur bagian arah matahari terbit, sebagai simbol awal yang kuat.

makna ini terkait dengan konsep manunggaling kawula gusti (persatuan hamba dan Tuhan), di mana kekuatan maskulin diharapkan membawa perlindungan dan kesejahteraan bagi keluarga. 

Bubur merah juga diyakini memiliki khasiat hangat yang melindungi tubuh dari kedinginan spiritual, sesuai dengan prinsip pengobatan tradisional Jawa yang bertemakan warna dengan unsur alam.

Simbolisme Bubur Putih

Sebaliknya, bubur putih melambangkan unsur feminin atau pradana yang mencerminkan kelembutan, kesucian, dan energi pasif. 

Warna putih dari kapur sirih atau santan diartikan sebagai simbol air susu ibu atau kemurnian jiwa, khususnya untuk anak perempuan. 

Dalam ritual, bubur putih ditempatkan di sisi barat bagian arah matahari terbenam, sebagai simbol akhir yang tenang dan diberikan kepada ibu bayi.

Filosofi ini menekankan kesetaraan gender dalam budaya Jawa, di mana kedua elemen saling melengkapi untuk mencapai keharmonisan dan rukun. 

Bubur putih juga melambangkan kesuburan tanah dan udara yang esensial bagi kehidupan agraris masyarakat Jawa

Konsumsi bubur putih dipercaya membersihkan racun dalam tubuh dan menenangkan pikiran, selaras dengan konsep sehat jasmani rohani dalam pengobatan Jamu Jawa.

Makna Bubur Merah dan Putih 

Secara keseluruhan, penyajian bubur merah dan putih bersama-sama mengajarkan pelajaran tentang keseimbangan dalam kehidupan. 

Dalam pandangan Jawa, kehidupan adalah perpaduan antara merah (aktif dan panas) dan putih (pasif dan dingin) yang harus dijaga agar tidak ada yang mendominasi. 

Tradisi ini juga mencerminkan nilai gotong royong, di mana tetangga dan keluarga berkumpul untuk berdoa dan berbagi makanan untuk memperkuat ikatan sosial.

Meskipun tradisi ini dihilangkan pada kepercayaan animisme dan Hindu-Buddha, ia telah disesuaikan dengan ajaran Islam yang dominan di Jawa

Namun, di era modern pelestarian tradisi ini mengancam tantangan urbanisasi, sehingga diperlukan pemahaman untuk generasi muda agar maknanya tidak hilang.

Tradisi bubur merah dan putih bukan sekedar warisan kuliner, melainkan cerminan identitas budaya Jawa yang holistik. 

Dengan memahami maknanya, masyarakat dapat mengintegrasikan nilai-nilai ini ke dalam kehidupan sehari-hari, seperti menjaga keseimbangan emosi dan lingkungan. 

Mari jaga warisan leluhur ini agar tetap berhubungan di tengah arus globalisasi. (MG Awega Yunita Sara)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved