Wayang Cinema: Revolusi Sinematik Menghidupkan Tradisi Bagi Generasi Muda

Tujuannya satu agar wayang mampu bersaing dengan hiburan digital seperti televisi dan internet yang kini mendominasi keseharian kita.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
YouTube @wayangcinemaofficial9114
Potongan dari salah satu episode Wayang Cinema di YouTube @wayangcinemaofficial9114 
Ringkasan Berita:
  • Wayang Cinema sebuah revolusi penyajian wayang tanpa mengubah esensi tradisi untuk memikat generasi muda di era digital.
  • Dikemas dengan gaya "Pop", wayang menjadi media edukasi efektif tanpa menggurui yang relevan dengan kehidupan masa kini demi melestarikan tradisi.
  • Kekuatan visual sinematografinya menjadi bahasa universal yang mampu merefleksikan realitas dan emosi penonton global.

TRIBUNJOGJA.COM --Bayangkan sebuah ruang bioskop yang gelap dan hening. Anda duduk nyaman, menunggu layar putih raksasa di depan Anda menyala. Namun, yang muncul bukanlah aktor-aktris atau animasi komputer, melainkan bayangan artistik yang hidup, bergerak dinamis dengan tata suara yang menggelegar. 

Inilah Wayang Cinema, sebuah revolusi budaya yang mengubah cara kita menikmati seni bayang-bayang, dari ritual panjang yang melelahkan menjadi tontonan sinematik yang memikat.

Selama puluhan tahun, menikmati wayang kulit identik dengan kesabaran tingkat tinggi. Penonton harus rela duduk berjam-jam dari malam hingga matahari terbit. Bagi generasi muda yang hidup serba cepat, tradisi ini sering kali terasa berat.

Menyadari jurang pemisah ini, Ki Aneng Kiswantoro, M.Sn bersama tim kreatifnya di Yogyakarta melahirkan konsep Wayang Cinema pada tahun 2014. 

Mereka tidak mengubah esensi wayang, tetapi mengubah "wajah" penyajiannya. 

Pertunjukan diringkas menjadi padat layaknya durasi film pendek, sehingga penonton bisa fokus menikmati alur cerita tanpa harus bertarung melawan rasa kantuk.

Wayang Cinema meniru sajian bioskop di mana penonton berada di ruang gelap, fokus hanya pada kelir (layar), dan didukung oleh sound system modern yang dirancang khusus untuk membangun suasana emosional.

Tujuannya satu agar wayang mampu bersaing dengan hiburan digital seperti televisi dan internet yang kini mendominasi keseharian kita.

"Kita mencoba mendekatkan wayang ke generasi sekarang,” sebut Riky (28) selaku sutradara dari Wayang Cinema, Kamis, (20/11/2025).

Di balik layar megah ini, ada kerja keras tim yang solid.

Wayang Cinema bukan one-man show. Selain Ki Aneng sebagai penggagas, ada sosok-sosok muda berbakat yang mengabdikan diri untuk pelestarian tradisi wayang.

Seniman muda dibalik produksi Wayang Cinema.
Para seniman muda dibalik produksi Wayang Cinema. (YouTube @wayangcinemaofficial9114)

Fani Rickyansyah (Riky) atau yang kerap disapa “Bumi Gede” sebagai nama panggung meyakini bahwa wayang akan punah jika tidak ada regenerasi penonton dari kalangan anak muda. 

Oleh karena itu, wayang harus dikemas dengan gaya yang "Pop" dan relevan dengan selera masa kini.

Wayang harus "masuk" ke dunia anak muda, bukan memaksa anak muda masuk ke dunia masa lalu.

Riky juga melihat wayang tidak sekadar hiburan, tetapi sebagai alat edukasi yang kuat. 

“Ini (wayang) bisa mendidik tanpa kesan menggurui,” sebutnya, Kamis, (20/11/2025).

Menurutnya, emosi yang dibawa dalam cerita, membuat penonton terhanyut dan merasa relevan, akan mampu membangun kesadaran sedikit demi sedikit.

“Setidaknya ada potongan-potongan dalam kisah pewayangan yang relevan dengan keadaan dan membuat penonton mengingat kembali realitasnya,” ujar Riky, Kamis, (20/11/2025).

Wayang Cinema membuktikan bahwa kolaborasi antara tradisi luhur dan teknologi modern bukanlah hal yang mustahil. 

Dengan menjadikan wayang sebagai "sinema", mereka tidak sedang merusak tradisi. Justru, mereka sedang menyelamatkannya dengan cara meletakkannya di tempat yang paling relevan dengan zaman, di titik temu antara seni, teknologi, dan realitas kehidupan manusia modern.

Refleksi Realitas Dunia Global

Riky mengungkap sebuah perspektif menarik yang membawa Wayang Cinema lebih dari sekadar tontonan visual. 
Ia menyoroti pengalaman mereka saat membawa karya ini ke panggung internasional, khususnya saat tampil di Yangtze River Art Festival di Wuhan, China dan lokakarya di salah satu perguruan tinggi di Singapura.

Di kedua negara maju tersebut, Wayang Cinema tidak sekadar tampil sebagai "barang antik" dari Pulau Jawa, Indonesia. Riky menekankan bahwa Wayang Cinema berhasil menjadi media untuk merefleksikan realitas.

Apa maksudnya? Di China dan Singapura, penonton mungkin tidak mengerti bahasa Jawa. 

Namun, karena Wayang Cinema menggunakan bahasa visual "sinematografi" seperti permainan sudut pandang, pencahayaan dramatis, dan potongan adegan yang cepat pertunjukan ini menjadi bahasa universal.

Wayang tidak lagi hanya menceritakan dewa-dewa di kayangan yang jauh, tetapi mampu memotret emosi dan realitas kehidupan yang relevan dengan penonton global.

Bayangan di layar bukan lagi sekadar mitos, melainkan cermin kehidupan.

Melalui teknik pencahayaan multimedia yang canggih, Wayang Cinema mampu memvisualisasikan konflik, kesedihan, dan semangat kepahlawanan yang bisa dirasakan langsung oleh penonton di Wuhan maupun Singapura, seolah-olah mereka sedang melihat refleksi kehidupan mereka sendiri di atas kelir.

Wayang Cinema adalah bukti bahwa bayang-bayang leluhur masih memiliki tempat yang gagah di era digital, mampu bercerita tidak hanya kepada masyarakat lokal, tetapi juga kepada dunia global. (MG|Axel Sabina Rachel Rambing).

Baca juga: 80 Nama-Nama Tokoh Wayang Mahabarata, Kebudayaan Indonesia yang Perlu Diketahui

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved