TRIBUNJOGJA.COM - Ketua Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Bobby Ardyanto, menyebut kebijakan Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang melarang kegiatan study tour sekolah justru menjadi pengingat bagi pelaku wisata di DIY untuk tidak terlalu bergantung pada satu segmen pasar.
Dampak kebijakan ini cukup terasa karena 40 persen wisatawan domestik di DIY berasal dari segmen study tour.
“Kalau kita bicara pariwisata domestik, sekitar 40 persen dari pergerakan wisatawan domestik itu berasal dari kegiatan study tour,” kata Bobby, Selasa (5/8).
Menurut Bobby, perubahan pola kunjungan akibat kebijakan KDM perlu disikapi secara positif. Meski berdampak terhadap pelaku wisata, kondisi ini dapat menjadi momentum untuk memperkuat pasar yang selama ini belum tergarap maksimal.
“Kita perlu menyadari bahwa ketergantungan pariwisata DIY pada satu segmen pasar terlalu besar. Ini menciptakan risiko besar, seperti yang sedang kita hadapi saat ini,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bobby menjelaskan bahwa ketergantungan pada satu sumber pasar juga terjadi dalam segmen MICE (Meetings, Incentives, Conferences, Exhibitions). Di Yogyakarta, sekitar 60 persen kegiatan MICE berasal dari sektor pemerintahan, yang turut terdampak oleh kebijakan Instruksi Presiden beberapa waktu lalu.
“Ini seharusnya jadi pengingat kita bahwa ketergantungan pada satu pasar, dalam hal ini sektor pemerintahan, juga tidak sehat untuk keberlangsungan bisnis pariwisata,” tuturnya.
Bobby mengajak seluruh pemangku kepentingan di sektor pariwisata, termasuk Pemerintah Daerah DIY, untuk menjadikan situasi ini sebagai momentum pembenahan. Ia mendorong diversifikasi pasar dan pengembangan potensi lain yang belum tergarap, baik dari segmen domestik maupun internasional.
“Makanya, saya selalu mengingatkan Pemda DIY dan semua stakeholder pariwisata: ayo, ini momentum kita untuk memperkuat pasar, diversifikasi, dan memaksimalkan pasar yang belum tergarap,” katanya.
Menurut dia, dengan memperkuat produk dan layanan pariwisata lokal, pelaku industri di DIY tidak akan terlalu terpengaruh oleh dinamika kebijakan dari luar daerah. Bobby menilai respons reaktif terhadap kebijakan KDM justru kurang produktif.
“Daripada sibuk melawan kebijakan daerah lain, saya lebih mendorong agar kita perkuat produk dan layanan kita sendiri. Ini akan membuat kita lebih dewasa dalam menghadapi kondisi pariwisata ke depan,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa Yogyakarta memiliki rekam jejak ketangguhan menghadapi krisis. Hal itu terbukti saat menghadapi bencana gempa dan pandemi Covid-19.
“Jogja punya sejarah ketangguhan. Kena gempa, kita bangkit cepat. Kena Covid, kita juga cepat recovery. Jogja secara budaya sangat kuat menghadapi dinamika,” kata Bobby.
Bobby menilai polemik soal study tour yang muncul dari kebijakan KDM juga dapat menjadi titik balik positif bagi pelaku wisata di DIY. Menurut dia, ini adalah peluang untuk memperjelas nilai dan substansi dari kegiatan study tour, agar tidak sekadar dipersepsikan sebagai kegiatan wisata.
“Study tour itu seharusnya berisi unsur edukasi sesuai dengan fungsi utamanya, bukan sekadar piknik. Kalau kita bisa menghadirkan produk yang punya nilai edukatif tinggi, maka kita bisa menjawab kritik KDM dengan konkret,” tegasnya.
Dengan memperkuat sisi edukatif, Bobby meyakini sekolah akan bisa mengalokasikan anggaran secara resmi untuk kegiatan tersebut sebagai bagian dari kurikulum pendidikan, tanpa membebani orang tua.
“Kalau itu jelas, sekolah bisa mengalokasikan anggaran untuk kegiatan tersebut sebagai bagian dari program pendidikan. Tidak perlu lagi membebani orang tua,” ujarnya.
Ia berharap tidak ada lagi pihak yang mempersoalkan study tour jika kegiatan itu telah dikemas secara substansial dan terintegrasi dengan tujuan pendidikan.
Perubahan Pola Wisata
Terkait dampak langsung dari pelarangan study tour di Jawa Barat, Bobby menjelaskan bahwa bentuk kunjungan memang berubah, tetapi tidak serta-merta menyebabkan hilangnya wisatawan.
“Pada masa libur sekolah kemarin, mereka tetap datang ke Jogja, hanya dengan cara berbeda. Bukan lagi dalam bentuk grup besar naik bus sekolah, tapi datang sebagai keluarga,” jelasnya.
Uniknya, dalam pola kunjungan keluarga ini, justru terjadi peningkatan belanja wisata karena ada peran orang tua dalam pengambilan keputusan dan anggaran. Hal ini berbeda dengan kunjungan dalam format sekolah yang biasanya dibatasi oleh bujet.
“Dan justru, saat datang sebagai keluarga, pengeluarannya lebih tinggi. Karena ada campur tangan orang tua dalam keputusan dan anggaran,” kata Bobby.
Ia mengingatkan agar perubahan pola ini dikaji secara komprehensif agar tidak salah dalam menyimpulkan dampak terhadap pendapatan daerah.
“Kalau kita tidak sadar akan pergeseran pola ini, kita bisa salah ambil kesimpulan,” tandasnya.