Politeknik LPP Yogyakarta Tegaskan Komitmen Cetak SDM Perkebunan Profesional dan Berkarakter

Penulis: Ardhike Indah
Editor: Joko Widiyarso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

SAWIT: Direktur Politeknik LPP Yogyakarta, Dr. Ir. Mustangin., S.T., M.Eng., IPM mengedukasi generasi muda terkait sawit dalam podcast di YouTube Tribun Jogja Official.

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejak didirikan pada tahun 1997 di bawah naungan Yayasan Pendidikan Perkebunan Yogyakarta, Politeknik LPP Yogyakarta terus berkomitmen menjadi institusi pendidikan tinggi yang fokus pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) di sektor perkebunan. 

Hal ini ditegaskan oleh Direktur Politeknik LPP Yogyakarta, Dr. Ir. M. Mustangin, S.T., M.Eng., IPM, dalam wawancara terbarunya di podcast Tribun Jogja Official berjudul Educating the Public, Straightening Stigma, Jumat (1/8/2025).

“Kami merupakan pendidikan tinggi yang fokusnya di pendidikan perkebunan. Jadi, walaupun kami berada di Yogyakarta, komunitas yang dikembangkan adalah komunitas perkebunan,” jelas Mustangin.

Ia mengatakan, Politeknik LPP Yogyakarta menawarkan sejumlah program studi yang bersifat aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan industri, di antaranya Diploma IV Perkebunan, Diploma III Budidaya Perkebunan, serta program berbasis teknologi seperti Diploma IV Teknologi Rekayasa Kimia Industri dan Teknologi Rekayasa Mesin Industri Perkebunan. 

Selain itu, untuk mendukung aspek manajerial dan keuangan, tersedia pula program Diploma III Akuntansi.

“Harapannya, ini menjadi pembelajaran yang lengkap untuk industri, agar kami bisa menyediakan talenta yang unggul di bidang perkebunan,” lanjutnya.

Politeknik LPP Yogyakarta juga secara aktif menjalin kerja sama dengan pelaku industri perkebunan dalam upaya menciptakan pendidikan yang adaptif dan menghasilkan lulusan yang profesional serta berkarakter kuat.

Menyinggung citra industri kelapa sawit di kalangan generasi muda, Mustangin mengakui adanya tiga spektrum persepsi.

“Ada yang melihat sawit secara positif, sebagai penopang ketahanan pangan, penyedia lapangan kerja, hingga kontribusi devisa negara yang besar, bahkan mencapai Rp 440 triliun. Tapi ada juga yang terpengaruh kampanye negatif, seperti isu kerusakan hutan, dampak kesehatan, atau penggunaan air berlebihan. Dan terakhir, ada kelompok yang acuh tak acuh,” terangnya.

Ia menekankan pentingnya edukasi untuk membentuk pandangan yang objektif.

“Tugas kita adalah mengedukasi mereka yang masih berpikir negatif, agar melihat sawit dari kacamata keberlanjutan dan kontribusinya terhadap pembangunan nasional,” beber dia.

Terkait prospek karier, Mustangin optimistis industri perkebunan masih menjadi sektor strategis jangka panjang.

“Kalau tidak ada regenerasi, siapa yang akan mengelola industri sawit ke depan? Padahal industri ini kini makin akrab dengan teknologi dan efisiensi, tidak lagi sekadar mencangkul. Ini saatnya generasi muda mengambil estafet pengelolaan agar sawit tetap berkelanjutan,” pungkasnya. 

Berita Terkini