3 Bulan Tak Bisa Bekerja, Penambang Progo Desak Izin Tambang dan Penggunaan Pompa Mekanik Dipercepat

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

GELAR AKSI - Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera dan Kelompok Penambang Progo menggelar aksi di Kantor Gubernur DIY, Rabu (25/6/2026), untuk menyampaikan aspirasi terkait keberlangsungan aktivitas penambangan pasir di Sungai Progo. Mereka mendesak percepatan proses perizinan, terutama izin penggunaan pompa mekanik yang kini dilarang.

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera dan Kelompok Penambang Progo menyampaikan aspirasi terkait kelangsungan aktivitas penambangan pasir di aliran Sungai Progo dalam aksi di Kantor Gubernur DIY, Rabu (25/6/2026). 

Mereka mendesak pemerintah untuk mempercepat proses perizinan, khususnya izin penggunaan alat pompa mekanik.

Sebelumnya, penggunaan pompa mekanik masih diperbolehkan.

Namun, ketentuan tersebut tidak lagi berlaku dalam aturan terbaru.

Para penambang berharap penggunaan alat tersebut tetap diizinkan sembari proses perizinan berjalan.

Dalam tiga bulan terakhir, mereka telah mengupayakan pengurusan izin, tetapi belum memperoleh kejelasan dari pihak berwenang.

Kondisi ini menyebabkan para penambang di wilayah Kabupaten Bantul dan Kulon Progo tidak bekerja.

Sebelumnya, para penambang telah memiliki Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Namun, masa berlaku izin tersebut telah habis.

Saat mereka hendak memperpanjang izin, ditemukan perubahan regulasi.

IPR kini tidak dapat lagi diajukan atas nama kelompok, berbeda dengan aturan sebelumnya yang memungkinkan satu kelompok beranggotakan beberapa orang untuk memiliki satu IPR bersama.

Perubahan regulasi ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat yang selama ini bergantung pada aktivitas penambangan pasir.

Baca juga: Ratusan Penambang Pasir Sungai Progo Minta Pemerintah Beri Kemudahan Penambangan Pasir

Mereka juga mempertanyakan ketimpangan perlakuan terhadap penambang lokal dibandingkan dengan perusahaan berbadan hukum seperti PT atau CV, yang tetap dapat melakukan penambangan menggunakan alat berat, meskipun bukan berasal dari wilayah setempat.

Pemegang IPR hanya diperbolehkan menambang secara manual, antara lain dengan cangkul, cengkrong, atau menyelam, yang dinilai kurang efisien dan memberatkan para penambang lokal.

Ketua Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera, Agung Mulyono, menyampaikan bahwa pihaknya merasa kecewa karena belum mendapatkan jawaban pasti dalam audiensi dengan Pemda DIY yang diwakili Penjabat Sekda DIY, Aria Nugrahadi dan Asisten Sekretariat Daerah DIY Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Tri Saktiyana.

Meski demikian, telah dijadwalkan peninjauan lapangan oleh pemerintah ke lokasi penambangan pada Kamis (26/6/2026).

"Untuk audiensi ini, kami tetap merasa kecewa karena belum ada jawaban yang pasti. Namun, untuk besok siang sudah dijadwalkan untuk mendatangi titik lokasi yang akan ditinjau," ungkap Agung Mulyono.

"Tuntutan kami yang pertama dipermudah perizinan. Kedua, dipercepat prosesnya. Ketiga, kami ingin bisa menambang kembali. Tuntutannya hanya itu, supaya kami bisa menghidupi keluarga kami. Karena sudah 3–4 bulan ini kami tidak bekerja," lanjutnya.

"Karena izin masih dalam proses, kami tetap tidak diperbolehkan menambang karena ada aturan-aturan yang dicabut, salah satunya adalah larangan menggunakan pompa mekanik. Selama ini kami menambang memang menggunakan pompa. Jadi selama ini ya kami tidak menambang karena tidak diizinkan," tambahnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa selama ini para penambang rakyat menggunakan pompa mekanik untuk menambang pasir di kedalaman 5–6 meter.

Mereka menyatakan bahwa peralatan yang digunakan tidak cukup kuat untuk mengeksplorasi lebih dalam, terutama saat menghadapi batuan keras di dasar sungai. Penambang juga mengklaim  anggapan bahwa aktivitas mereka merusak lingkungan.

Menurut mereka, aktivitas penambangan bersifat terbatas dan tidak menggunakan alat berat.

"Kalau sudah mendapatkan batu, kami tidak bisa menembus ke bawah lagi. Alat kami tidak memadai untuk itu. Jadi, untuk merusak lingkungan itu tidak ada. Kami ini sudah menambang secara turun-temurun dari dulu. Kalau dikatakan kami merusak lingkungan, ya tidak mungkin. Lingkungan itu kan tempat tinggal kami sendiri," ujarnya.

"Saya bisa menjamin tidak ada kerusakan. Rumah saya itu di pinggir sungai. Sejak saya menambang, tidak pernah ada longsor tanah di samping rumah. Jadi saya bisa pastikan, tidak ada kerusakan lingkungan," lanjutnya.

Kondisi ini berdampak langsung pada kehidupan ratusan warga yang menggantungkan hidup dari sektor tersebut.

Di Sungai Progo terdapat 28 titik tambang, dengan 20 titik di antaranya kini tidak beroperasi. Setiap titik terdiri atas 30–40 pekerja.

Di kelompok yang dipimpin Agung sendiri terdapat 75 anggota, yang mewakili sekitar 300 jiwa jika dihitung dengan anggota keluarga.

Selama tidak menambang, sebagian penambang bertahan hidup dengan membantu memuat pasir di depo.

Namun, pendapatan yang diperoleh sangat minim dan tidak menentu. Kadang mereka hanya mendapatkan Rp25.000 per orang per hari, bahkan tidak mendapat pemasukan sama sekali jika tidak ada truk pengangkut yang datang.

Di tengah tekanan ekonomi tersebut, komunitas penambang juga berupaya menjaga identitas budaya mereka. 

Dalam aksi di kantor gubernur, ditampilkan pertunjukan seni dari Paguyuban Seni Tari Reog Wayang 'Putra Mahesa', Mendiro, Galurejo, Lendah, Kulon Progo, yang merupakan bagian dari pelatihan budaya.

Mereka menyatakan tetap berkomitmen untuk menambang secara legal dan tidak merusak lingkungan.

Penambang juga siap mengikuti proses hukum dan pengajuan izin sesuai aturan yang berlaku, serta terus mengikuti pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang sedang disusun di DPRD DIY.

Dengan moratorium yang masih berlangsung dan belum disahkannya Raperda baru, para penambang berharap agar regulasi segera diselesaikan.

Mereka menantikan kepastian hukum agar dapat kembali menambang dengan cara yang sah, serta penggunaan pompa mekanik kembali diizinkan demi kelangsungan ekonomi warga lokal. (*)

Berita Terkini