Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (PKMK FK-KMK UGM) mendukung konsep task shifting untuk menjadi solusi krisis dokter spesialis di daerah.
"Kita perlu mengacu kembali pada konsep Task Shifting yang telah direkomendasikan WHO sejak 2008 untuk mengatasi kekurangan tenaga kesehatan," ungkap Guru Besar Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FKKMK UGM, Prof. Laksono Trihantoro, Kamis (15/5/2025) dalam diskusi Pemberian Kompetensi Tertentu (Task Shifting) dari Dokter Spesialis ke Dokter (Umum).
Diskusi kebijakan mengangkat isu krusial tentang pemerataan akses pelayanan kesehatan spesialistik di tengah ketimpangan distribusi dokter spesialis di Indonesia.
Diskusi ini dilatarbelakangi perdebatan mengenai kebijakan penambahan kompetensi dokter umum untuk melakukan tindakan medis tertentu yang selama ini menjadi kewenangan spesialis, seperti operasi caesar (dari dokter SpOG), operasi katarak (dari dokter SpM), hingga penanganan jantung (dari dokter SpJPD).
Ia menjelaskan, task shifting adalah pemindahan tugas tertentu dengan sepantasnya dari tenaga kesehatan berkualifikasi tinggi ke tenaga kesehatan dengan kualifikasi lebih rendah, dengan tujuan meningkatkan efisiensi penggunaan SDM kesehatan yang ada.
Data yang dipaparkan dalam diskusi menunjukkan adanya ketimpangan signifikan dalam akses layanan spesialistik di Indonesia. Berdasarkan data klaim BPJS Kesehatan (2015-2023), terjadi disparitas yang semakin melebar dalam prosedur cathlab antara Regional 1 (Jawa) dengan Regional 5 (Papua, Maluku).
Regional 1 mencapai klaim hingga Rp2 triliun sejak 2017, sementara di Regional 5 prosedur ini sangat minim dilakukan. Pola serupa juga terlihat pada kasus katarak di mana delapan provinsi memiliki rasio dokter spesialis mata di bawah target 1:250.000 penduduk.
"Ketiadaan kebijakan task shifting yang efektif selama ini telah mengakibatkan ketidakadilan dan tragedi kemanusiaan dalam pelayanan kesehatan," tegas Laksono.
"Kondisi ini bertentangan dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diamanatkan Pancasila,” beber dia.
Diskusi ini juga mengkaji implementasi task shifting di berbagai negara yang telah terbukti efektif. Di Indonesia pernah dilakukan kebijakan program Dokter Plus yang pernah dirintis pada 2011 namun tidak berkelanjutan.
UGM sendiri pernah menerapkan pendekatan task shifting dalam program Sister Hospital untuk Revolusi KIA di NTT (2009-2013) dengan mengirimkan residen senior Obgyn dan Kesehatan Anak ke berbagai kabupaten, yang terbukti berhasil.
Laksono menyoroti bahwa UU Kesehatan 2023 sebenarnya telah mengatur task-shifting dalam berbagai pasal, namun belum dipahami secara luas oleh berbagai pihak. Dalan UU Kesehatan diatur sebuah proses yang bottom-up:
1. Pemerintah daerah mengidentifikasi kekurangan tenaga spesialis tertentu (pendekatan bottom-up)
2. Dokter umum di daerah (termasuk yang sudah lama bekerja) dipilih untuk diberi kewenangan tambahan
3. Pelatihan kompetensi dilakukan dengan standar dari kolegium terkait] dan diatur oleh KKI. Pelatihan ini bisa terintegrasi dengan sistem pendidikan residen
4. Dokter yang telah dilatih mendapat penugasan khusus dari pemerintah. Artinya tidak boleh melakukan kegiatan medik tanpa penugasan khusus dari negara.
5. Tindakan yang dilakukan dapat diklaim melalui BPJS
Ia mengatakan, diskusi kebijakan ini merupakan tahap pertama dari rangkaian proses yang akan dilanjutkan dengan dialog kebijakan, penyusunan policy brief, dan advokasi ke berbagai pihak terkait untuk mendorong operasionalisasi task shifting secara sistematis. (*)