Trajumas, Warisan Kopi Jawa yang Dihidupkan Kembali oleh Generasi Muda Kulon Progo

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rembag Keistimewaan bertema Trajumas: Kopi Jawa Khas Menoreh di Yogyakarta, Kamis (15/5/2025).Kegiatan ini menjadi ruang pertemuan antara pelaku akar rumput dan pembuat kebijakan, menggali potensi kopi sebagai jembatan antara sejarah, budaya, pertanian, dan masa depan melalui dukungan Dana Keistimewaan.

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pegunungan Menoreh, yang membentang di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menyimpan lebih dari sekadar panorama.

Di balik hijaunya, terdapat semangat kolektif sekelompok anak muda desa yang menghidupkan kembali kejayaan kopi khas Jawa, yang dulu tumbuh subur di zaman kolonial.

Mereka memberi nama kopinya “Trajumas”, akronim dari “Timbangan Emas”, simbol keseimbangan antara manusia dan alam.

Rembag Keistimewaan bertema “Trajumas: Kopi Jawa Khas Menoreh”, Kamis (15/5/2025), digelar sebagai bagian dari upaya mengangkat potensi kultural dan ekonomi lokal melalui Dana Keistimewaan.

Dalam forum ini, kisah-kisah dari akar rumput menggema ke telinga para pembuat kebijakan dan publik secara luas—cerita tentang bagaimana kopi dapat menjadi jembatan antara sejarah, budaya, pertanian, dan masa depan.

Agustinus Sulistyo, atau akrab disapa Mas Tio, adalah penggagas kopi Trajumas.

Ia merantau dan hidup di kota selama hampir satu dekade, namun pulang ke Pagerharjo, Kulon Progo, dengan keresahan yang membuncah.

“Di kota, semua yang kita konsumsi berasal dari desa. Tapi kenapa desa justru tertinggal?” katanya saat membuka cerita. 

Keprihatinan itu menjadi awal gerakan. Bersama empat anak muda desa lainnya, mereka mulai melakukan riset kecil-kecilan sejak 30 November 2019.

Serai, cengkeh, hingga rempah-rempah lainnya diteliti.

Namun, temuan paling mencolok justru datang dari pagar bambu rumah warga yang dibuat dari batang kopi—hidup dan berbuah.

Keingintahuan membawa mereka pada sejarah: kopi ternyata telah tumbuh di kawasan Menoreh sejak masa Tanam Paksa, dikenal sebagai kopi Londo. 

“Waktu itu kami sadar, ini bukan sekadar tanaman, tapi warisan sejarah yang bisa dihidupkan kembali,” ujar Agustinus.

Pada 2021, dengan swadaya penuh masyarakat, mereka berhasil menanam 12.000 batang kopi. Gerakan itu terus tumbuh. Kelurahan Pagerharjo merespons cepat. 

Menurut Lurah Pagerharjo, Widayat, A.Md, “Anak muda seperti Mas Tio dan kawan-kawan itu langka. Ketika semangatnya sudah ada, tugas kami adalah memberikan legalitas dan dukungan.”

Lahirnya Kelompok Tani Tarunatani Asta Brata menjadi penanda bahwa langkah mereka sudah menjejak struktur yang formal. 

Dukungan terus mengalir, salah satunya dari Pemerintah DIY melalui Paniradya Keistimewan. 

Kepala Bidang Tata Ruang Paniradya, Nur Ikhwan Rahmanto, menjelaskan bahwa pengembangan kopi di Menoreh sejalan dengan Satuan Ruang Strategis Keistimewaan (SRSK), yang menetapkan kawasan Pegunungan Menoreh sebagai ruang prioritas pembangunan berbasis kekhasan lokal.

Dana Keistimewaan, Bibit Harapan

Masuknya Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dari Dana Keistimewaan memberikan napas panjang pada kelompok ini.

Setelah legalitas terbentuk, mereka memperoleh pupuk dan 7.800 bibit kopi, yang langsung mempercepat proses berbuah pohon-pohon kopi yang ditanam. 

Di tahun 2025, bantuan tambahan sebesar 20.000 bibit kopi, serta penambahan fasilitas di rumah produksi yang telah dibangun.

Tak berhenti di situ, Paniradya Kaistimewan juga berkomitmen melakukan pendampingan teknis dan evaluasi berkelanjutan dengan menggandeng dinas terkait, akademisi, dan praktisi pertanian.

“Istilah kami: misal beli mobil sepisan (sekali), sementara kopi berkali-kali. Artinya, mobil cuma bisa dibeli sekali, tapi kopi bisa dipanen berkali-kali,” ujar Agustinus. 

Ia memperkirakan satu pohon kopi dapat menghasilkan 10–11 kilogram per tahun.

Bila seorang petani menanam 2.000 batang, potensi pendapatan bisa mencapai Rp120 juta per tahun—atau Rp10 juta per bulan.

“Kalau begitu, petani bangun tidur pun sudah punya Rp333 ribu,” tambahnya sambil berkelakar. 

Namun, kelakar itu bukan tanpa dasar. Hari ini, masyarakat mulai percaya bahwa kopi bukan hanya bisa dinikmati, tapi juga bisa menyejahterakan.

Lebih dari sekadar produk pertanian, Trajumas adalah filosofi. Menurut Agustinus, nama “Trajumas” diambil dari istilah kuno yang berarti timbangan emas, simbol keseimbangan alam dan manusia. 

“Kesejahteraan itu soal keseimbangan. Antara kerja dan tanah, antara budaya dan ekonomi,” ujarnya.

Kopi Trajumas adalah cermin kecil dari bagaimana Dana Keistimewaan bisa menyentuh akar rumput secara nyata. Kopi bukan hanya komoditas, tapi narasi sosial yang menyatukan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

"Potensi seperti ini tidak hanya ada di Pagerharjo," kata Nur Ikhwan. 

"Kalurahan-kalurahan lain di DIY bisa meniru, menggali potensi masing-masing dan berdiskusi bersama. Keistimewaan tidak hanya dilindungi, tapi juga harus dikembangkan."

Dari lima anak muda, menjadi tiga puluh. Dari produksi rumahan yang sederhana, menjadi rumah produksi. Dari iseng, menjadi inspirasi. (*)

Berita Terkini