Penulis: Yohanes Maszandy Septyanta
Mahasiswa Fakultas Bioteknologi
Universitas Kristen Duta Wacana
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi ancaman nyata di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Setiap musim penghujan, lonjakan kasus terus berulang.
Tahun 2024 mencatat ribuan kasus, dengan Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta sebagai zona merah.
Namun, penyebabnya bukan hanya nyamuk, melainkan juga ketidakpedulian lingkungan dan lemahnya kesadaran kolektif akan pencegahan dini.
Di tengah situasi ini, muncul pertanyaan penting: apakah Gen Z di Yogyakarta hanya akan jadi penonton, atau justru menjadi garda depan perlawanan terhadap DBD?
Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus—penyebab utama DBD—berkembang biak di air jernih yang tergenang.
Selama ini, fogging menjadi solusi cepat, padahal hanya membunuh nyamuk dewasa, bukan jentiknya.
Program 3M Plus sudah lama dikampanyekan, namun tak efektif tanpa partisipasi aktif masyarakat.
Sayangnya, peran penting kader Jumantik (Juru Pemantau Jentik) masih didominasi oleh ibu-ibu PKK dan tenaga kesehatan.
Di sinilah peluang besar Gen Z DIY justru terbuka.
Generasi digital ini punya kekuatan besar: kreatif, adaptif, dan sangat terhubung lewat teknologi.
Jika diberi ruang dan pelatihan, mereka dapat menjadi pionir edukasi kreatif, menciptakan konten viral tentang pentingnya PSN, bahaya jentik, hingga kampanye hidup bersih dengan pendekatan visual yang dekat dengan gaya hidup remaja.
Menyongsong Hari Palang Merah Sedunia 8 Mei 2025 dengan tema “Keeping Humanity Alive”, momentum ini sangat tepat untuk menyalakan kembali semangat kemanusiaan di kalangan anak muda.