Puisi

Makna Puisi Sajak Sebatang Lisong Karya W.S. Rendra

Penulis: Tribun Jogja
Editor: Joko Widiyarso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gambar Foto Penyair WS Rendra

TRIBUNJOGJA.COM - W.S. Rendra atau penyair yang dikenal dengan julukan "Si Burung Merak” ini kerap membuat karya-karya yang menyoroti isu sosial. 

Karya-karya W.S. Rendra banyak mengandung semangat perlawanan terhadap penindasan.

W.S. Rendra adalah sosok seniman yang tidak hanya menciptakan karya seni yang indah, tetapi juga menggunakan seninya sebagai alat untuk menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan keadilan.

Hal ini ia tuangkan dalam salah satu karyanya yang berjudul “Sajak Sebatang Lisong”.

Berikut isi dan makna puisi “Sajak Sebatang Lisong”: 


Isi Puisi “Sajak Sebatang Lisong”


Menghisap sebatang lisong,

melihat Indonesia Raya,

Mendengar 130 juta rakyat,

dan di langit

dua tiga cukong mengangkang

berak di atas kepala mereka.


Matahari terbit.

Fajar tiba.

Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak

tanpa pendidikan.


Aku bertanya

tetapi pertanyaan-pertanyaanku

membentur meja kekuasaan yang macet,

dan papan tulis-papan tulis para pendidik

yang terlepas dari persoalan kehidupan.


Delapan juta kanak-kanak

menghadapi satu jalan panjang

tanpa pilihan

tanpa pepohonan

tanpa dangau persinggahan

tanpa ada bayangan ujungnya


Menghisap udara

yang disemprot deodorant,

aku melihat sarjana-sarjana menganggur

berpeluh di jalan raya;

aku melihat wanita bunting

antri uang pensiunan.


Dan di langit

para teknokrat berkata:


bahwa bangsa kita adalah malas

bahwa bangsa mesti dibangun,

mesti di-upgrade,

disesuaikan dengan teknologi yang diimpor.


Gunung-gunung menjulang

Langit pesta warna di dalam senja kala.

Dan aku melihat

protes-protes yang terpendam,

terhimpit di bawah tilam.


Aku bertanya

tetapi pertanyaanku

membentur jidat penyair-penyair salon,

yang bersajak tentang anggur dan rembulan,

sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya,

dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan

termangu-mangu di kaki dewi kesenian.


Bunga-bunga bangsa tahun depan

berkunang-kunang pandang matanya,

di bawah iklan berlampu neon.

Berjuta-juta harapan ibu dan bapak

menjadi gebalau suara yang kacau,

menjadi karang di bawah muka samodra.


Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing.

Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,

tetapi kita sendiri merumuskan keadaan.

Kita mesti keluar ke jalan raya,

keluar ke desa-desa,

mencatat sendiri semua gejala,

dan menghayati persoalan nyata.


Inilah sajakku.

Pamplet masa darurat.

Apakah artinya kesenian,

bila terpisah dari derita lingkungan:

Apakah artinya berpikir,

bila terpisah dari masalah kehidupan.

 

Makna Puisi “Sajak Sebatang Lisong”

Puisi ini adalah kritik sosial yang tajam, menggambarkan ketidakadilan dan kesenjangan yang terjadi di Indonesia. 

"dua tiga cukong mengangkang berak di atas kepala mereka" menggambarkan bagaimana segelintir orang kaya dan berkuasa mengeksploitasi dan menindas rakyat kecil.

"delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan" dan "sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya" menunjukkan betapa parahnya kesenjangan sosial dan ekonomi di Indonesia.

"pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet" menggambarkan bagaimana suara rakyat diabaikan oleh penguasa.

"para teknokrat berkata: bahwa bangsa kita adalah malas" ini menunjukkan bahwa penguasa lebih memilih untuk menyalahkan rakyat, daripada mencari solusi atas masalah yang ada.

"jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya" menggambarkan bagaimana para intelektual dan seniman mengabaikan masalah sosial dan hanya fokus pada hal-hal yang indah dan romantis.

"Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan nyata" adalah seruan untuk aksi nyata, untuk terlibat langsung dalam perjuangan melawan ketidakadilan.

"Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan: Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan." Ini merupakan sebuah pertanyaan retoris, yang mengajak para pembaca, agar lebih peduli terhadap lingkungan sekitar.

"Bunga-bunga bangsa tahun depan berkunang-kunang pandang matanya, di bawah iklan berlampu neon." Ini menggambarkan generasi muda yang kebingungan, karena pengaruh budaya asing, dan juga tekanan ekonomi.

"Berjuta-juta harapan ibu dan bapak menjadi gebalau suara yang kacau, menjadi karang di bawah muka samodra." Ini menggambarkan hancurnya harapan orang tua, melihat masa depan anak anaknya yang suram.

Secara keseluruhan, puisi ini adalah kritik yang kuat terhadap ketidakadilan, kesenjangan, dan ketidakpedulian yang terjadi di Indonesia. 

Penyair menyerukan perubahan dan mengajak semua orang untuk terlibat dalam perjuangan untuk keadilan. (MG Ni Komang Putri Sawitri Ratna Duhita) 

Berita Terkini