Ayahnya hanyalah seorang petani yang tidak pernah menempuh pendidikan formal, lulus SD pun tidak.
Perekonomian keluarganya sempat goyah ketika sang ayah meninggal dunia saat Apia berada di semester 5 jenjang S1.
Untuk hidup sehari-hari mereka pun mengandalkan hasil jualan dari toko kelontong kecil yang dikelola sang ibu yang hanya lulusan sekolah dasar.
"Dari jualan ibu itu ya hasilnya hanya pas-pasan saja untuk hidup sehari-hari," kata Apia.
Kendati demikian, kondisi tersebut justru menjadi pelecut semangat Aipa untuk tekun belajar dan berprestasi sejak bangku sekolah.
Sejak SD hingga SMA, ia selalu menjadi bintang kelas.
Peringkat pertama jarang lepas dari tangannya. Bahkan ketika SMA, Apia sering mengikuti lomba dan menjadi juara umum selama tiga tahun berturut serta menjadi lulusan terbaik di salah satu SMA terbaik di daerahnya.
Saat SMA pun ia mendapatkan beasiswa penuh untuk pembayaran SPP karena prestasinya tersebut.
Sadar dengan kondisi keluarga yang serba terbatas. Saat menjalani masa kuliah Apia tidak hanya berdiam diri, ia aktif melakukan kerja paruh waktu dengan menjadi asisten dosen, kelas, penelitian, hingga laboratorium untuk menambah ilmu dan tentunya uang saku.
Dengan segala kondisi keluarganya, Apia tidak sekalipun merasa berkecil hati.
Justru ia sangat bersyukur, sebab kedua orang tuanya selalu mendukung untuk anaknya bisa meraih pendidikan setinggi mungkin.
Hal itu menjadi semangat Apia untuk terus belajar tekun hingga bisa menyelesaikan studi S1 dan kembali melanjutkan studi pascasarjana di Akuntansi UGM dengan beasiswa secara penuh.
"Saya selalu ingat pesan bapak ibu. Meski orang tua tidak sekolah, anak-anak harus bisa sekolah sebab dibekali harta akan ada habisnya, tetapi jika dibekali ilmu akan abadi," jelasnya.
Saat ini Apia tengah fokus memenuhi target-target belajarnya selama di UGM dan menjadi awardee PMDSU.
Apia memiliki minat penelitian di bidang Akuntansi Keuangan, Sistem Informasi Akuntansi, dan Akuntansi Syariah.