Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memutuskan situasi penularan Covid-19 bukan lagi sebagai kedaruratan kesehatan global.
Hal tersebut dikatakan oleh Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam konferensi pers di Jenewa, Swiss, Jumat (5/5/2023) waktu setempat.
Meski begitu, dia menilai kewaspadaan masih diperlukan.
Ia menyebut kasus pandemi Covid-19 menunjukkan tren penurunan, baik pada kasus baru maupun kasus kematian.
Tekanan pada sistem kesehatan pun berkurang. Selain itu, kekebalan komunitas atas penularan Covid-19 juga meningkat di tingkat global.
Hal itu membuat sebagian besar negara dapat hidup seperti sebelum pandemi Covid-19 terjadi.
Baca juga: Begini Kata Pakar Dari UGM Tentang Kondisi Status Covid-19 Saat Ini
”Oleh karena itu, dengan harapan besar, saya menyatakan Covid-19 berakhir sebagai darurat kesehatan global. Namun, itu tidak berarti Covid-19 berakhir sebagai ancaman kesehatan global,” tuturnya.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), dr. Riris Andono Ahmad, MPH., Ph.D menjelaskan, akhir dari pandemi lebih tepat diartikan sebagai pandemi Covid-19 sudah tidak lagi menjadi perhatian utama banyak pihak atau masyarakat secara luas.
Namun, virus Sars-CoV-2 pada kenyataannya tetap ada dan transmisinya masih terjadi secara global sehingga akan tetap berlangsung.
“Tidak berarti pandemi itu berakhir kemudian Covid-19 ini tidak ada sama sekali dan tidak ada penularan. Tidak seperti itu. Covid-19 tetap ada dan masyarakat akan hidup berdampingan dengan virusnya," katanya kepada Tribun Jogja, Sabtu (6/5/2023).
Ia mengurai, penyakit itu tetap ada, juga terjadi secara global, tapi tingkat keparahannya sudah sangat jauh berkurang.
Dari penjelasan itu, kemudian bisa dibilang pandemi sudah tidak lagi menjadi masalah kesehatan di masyarakat.
Penyakit ini tidak lagi dianggap sebagai ancaman kesehatan masyarakat yang prioritas meski masih ada.
“Artinya ya bukan ancaman prioritas lagi. Penyakitnya tetap ada. Dari waktu ke waktu, mungkin nanti juga ada semacam tahap kenaikan kasus dan sebagainya, tapi bukan ancaman” tutur dia.
Apalagi setelah cakupan pemberian vaksin ke masyarakat luas.
Masyarakat bisa memiliki kekebalan dan memori kekebalan pada tubuh.
Tanda-tanda berakhirnya pandemi, menurut dia, memang mendekati kenyataan.
Penyakit tidak lagi menimbulkan orang sakit dan tidak membebani sistem kesehatan sehingga pada akhirnya tidak terlalu menjadi masalah.
Di DI Yogyakarta, kasus Covid-19 ada 264 orang per pekan, mulai 29 April hingga 4 Mei 2023.
Sepanjang periode tersebut, lima pasien dilaporkan meninggal dunia.
Angka tersebut terlihat kecil dibandingkan dengan angka di awal pandemi, dimana bisa ada 260 lebih orang terjangkit Covid-19 dalam satu hari.
“Artinya kita terinfeksi tetapi kita tidak sakit, kan tidak perlu ngapa-ngapain tho. Kita tetap beraktivitas, tidak harus ke rumah sakit dan seterusnya. Hal-hal semacam itu tidak lagi menjadi beban rumah sakit, puskesmas, atau sistem kesehatan secara luas," terangnya.
Baca juga: Ini Langkah Kemenkes Seusai WHO Turunkan Status Pandemi Covid-19
Dikatakannya, saat ini, evolusi virus secara alami mengalami penurunan keparahan.
Virus yang menyebabkan keparahan dan kematian tidak dapat berkembang biak.
Sebab, mereka akan mati ketika penderita diisolasi atau karena meninggal.
Dengan demikian, Covid-19 kini sudah berubah selayaknya penyakit flu biasa.
"Setiap varian baru agar bisa menjadi varian yang dominan, harus lebih menular dibandingkan varian sebelumnya. Kalau tidak lebih menular, mereka tidak bisa berkompetisi dengan varian yang ada," ungkapnya.
Meski begitu, masyarakat yang berisiko tinggi seperti mereka yang memiliki komorbid atau penyakit bawaan dan warga berusia lanjut, virus ini tetap berpotensi menimbulkan keparahan dan kematian.
Apalagi bagi mereka belum mendapatkan vaksinasi Covid-19.
"Sehingga upaya vaksinasi perlu ditargetkan untuk kelompok-kelompok risiko tinggi tersebut. Bukan lagi kepada seluruh populasi," tambahnya. ( Tribunjogja.com )