Tangani 130 Korban Kekerasan Seksual Mahasiswa, Rifka Annisa Dukung Permendikbudristek 30/2021

Penulis: Ardhike Indah
Editor: Kurniatul Hidayah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Rifka Annisa Women’s Crisis Center mendukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk mensosialisasikan Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi secara lebih luas dan masif dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait.

Pihaknya juga mengapresiasi dan mendukung atas ditetapkannya regulasi tersebut.

Hal ini merupakan inisiatif yang menunjukkan kemajuan serta komitmen pemerintah dalam menciptakan ruang aman sekaligus menghadirkan perlindungan di lingkungan perguruan tinggi.

Direktur Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Defirentia One Muharomah mengatakan, peraturan ini menjadi langkah strategis untuk menghadirkan tanggung jawab serta peran perguruan tinggi dalam upaya pencegahan serta penindakan kasus-kasus kekerasan seksual yang masih banyak terjadi di lingkungan kampus.

“Dalam 5 tahun terakhir, dari tahun 2016 – 2020, Rifka Annisa mendampingi sebanyak 267 kasus kekerasan seksual dengan rincian 140 kasus perkosaan dan 127 kasus pelecehan seksual,” jelasnya dalam keterangan resmi, Senin (15/11/2021).

Baca juga: Ruas JJLS di Panggang Gunungkidul Diperluas, Pembebasan Lahan Ulang Digulirkan

Ia menjelaskan, dari jumlah kasus tersebut, sebanyak 130 kasus korbannya merupakan mahasiswa.

“Dari tahun ke tahun, jumlah mahasiswa yang mengadukan kasus kekerasan seksual semakin meningkat,” paparnya.

Bahkan, dari kajian yang dilakukan Rifka Annisa, terdata bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap mahasiswa berasal dari kampus yang sama dengan korban maupun dari kampus yang berbeda.

Dikatakannya, profil pelaku antara lain dosen, staf, karyawan kampus, teman, pacar, atau orang yang tidak dikenal.

“Kami mengamati bahwa dengan maraknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, masih terdapat institusi kampus yang belum kooperatif dalam menindak tegas pelaku maupun memberikan perlindungan bagi korban,” terangnya.

Ia menilai, situasi tersebut menjadikan korban seringkali diam karena khawatir ketika mengadukan kasusnya akan mengancam posisinya lantaran dianggap mencemarkan nama baik kampus.

Dalam merespons kasus, kampus masih menaruh stigma, victim blaming, dan prasangka negatif terhadap korban. 

Akibatnya, kasus-kasus kekerasan seksual cenderung ditutupi, korban mengalami trauma dan depresi karena menanggung beban masalah sendiri.

“Dengan mempertimbangkan kegentingan tersebut, hadirnya peraturan ini dapat mendukung dan menguatkan kembali peran dan tanggung jawab institusi perguruan tinggi untuk menciptakan ruang aman bagi civitas akademik,” tutur Defirentia.

Dia melanjutkan, sangat penting mendekatkan layanan-layanan bagi korban kekerasan seksual di kampus dengan membentuk pusat krisis, menyusun mekanisme/panduan layanan, maupun membentuk tim satuan tugas sebagai support system bagi korban. 

Dengan adanya mekanisme yang jelas terkait layanan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, semua pihak khususnya korban akan merasa aman dan mendapat dukungan ketika mengadukan kasus kekerasan seksual yang terjadi.

“Dari banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang ditangani Rifka Annisa, kami mendapatkan pembelajaran bahwa kerjasama dan dukungan dari kampus sangat penting dalam upaya penanganan kasus,” ucapnya.

Baca juga: Banyak Siswa SD Terdeteksi Covid-19 Saat Swab PCR Acak, Ini Penjelasan Disdikpora Kulon Progo

Dukungan tersebut bisa berupa pendampingan dan pemulihan korban, penindakan tegas pelaku, serta edukasi kepada civitas akademik maupun masyarakat tentang kekerasan seksual.

Oleh karena itu, kata dia, peraturan ini perlu dikawal implementasinya dan didukung oleh semua elemen.

Disinggung mengenai kontroversi, Rifka Annisa menilai kontroversi muncul karena persepsi yang dilandaskan pada prasangka negatif. 

“Muatan peraturan ini lebih menekankan pada upaya pencegahan serta penanganan yang tepat oleh pihak kampus, bukan untuk pelegalan zina atau seks bebas sebagaimana dituduhkan,” ucapnya lagi.

Faktanya, kata dia, selama ini banyak kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi yang tidak ditindak sebagaimana mestinya lantaran terdapat prasangka negatif terhadap korban.

Dilanjutkannya, Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 merupakan kemajuan sekaligus menegaskan kembali komitmen pemerintah serta peran dan tanggung jawab institusi perguruan tinggi untuk pencegahan dan penindakan kekerasan seksual.

“Peraturan ini maupun peraturan lain terkait upaya menciptakan ruang aman dari kekerasan seksual perlu terus dikawal. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU) harus terus didukung untuk segera disahkan demi menciptakan jaminan rasa aman bagi semua pihak khususnya keadilan bagi korban,” tukasnya. (ard)

Berita Terkini