"Mau pulang, ya, tambah beban saya di rumah. Suami kerja ngamen di Mangkubumi, ya, sekarang sepi, enggak ada yang jualan," ucap Sri dia dengan pelupuk mata yang terus membasah.
Dirinya mengaku sama sekali tidak memiliki mental berpangku tangan. Hanya sekarang saja kondisi serba susah, sehingga ia harus tetap keluar rumah agar ada sesuatu yang bisa ia bawa pulang. “Biarpun ada orang mau beli tisu saya dan menolak membawa tisu tetap tak paksa buat bawa. Aku bukan pengemis, kok," ungkapnya.
Ia merasakan beban terberat semasa pandemi mulai terasa akhir-akhir ini, perjuangannya bertahan dalam situasi sulit ini menurutnya diperparah dengan kebijakan PPKM Darurat dari pemerintah. “Sekarang kami menaruh harapan ke pemerintah juga enggak ada. Mana, pemerintah enggak mau tahu, kami sakit apa enggak, kami makan apa enggak," ujar Sri
Tak Berpenghasilan
Beban berat yang sama juga dirasakan perempuan bernama Sari Setiasih yang sehari-hari berjualan air mineral di sekitar Pasar Beringharjo. Sari juga sama seperti Sri, harus rutin membayar sewa tempat tinggal setiap bulannya.
Sementara sejak 3 Juli lalu, ia mengaku sama sekali tidak mendapat penghasilan lantaran Pasar Beringharjo tutup.
Rupanya mereka sengaja berkumpul untuk saling menguatkan dan menanti uluran tangan dari orang baik yang memberi bantuan sembako atau yang lainnya. "Ya, di sini hanya duduk-duduk, syukur, ya, ada orang yang mau beli, sama ngasih bantuan sembako atau apa," ungkap Sari.
Kondisi serupa juga dirasakan pekerja informal lainnya, yakni Sakijo (55), seorang tukang becak kayuh. Ditemui tak jauh dari Gedung Agung, dia sibuk menawarkan jasa becaknya kepada siapa pun yang melintas. "Sekarang cari penghasilan sepi. Jalan ditutup, kalau malam lampu dimatikan. Keluarga kami butuh makan," katanya.
Sampai sekitar 30 menit setelah mentari tepat di atas kepala, Sakijo mengaku belum mendapat satu pun penumpang yang bersedia diantar. Padahal ia sudah mangkal di Gedung Agung sejak pukul 08.00 WIB.
Yang diharapkannya hampir sama dengan para pejuang nafkah harian lainnya, yakni dinormalkan kembali kondisi jalanan dan akses masyarakat seperti sedia kala. "Ya, penginnya kembali lagi. Lah pripun, sekarang enggak ada penghasilan, bantuan juga enggak ada. Sementara keluarga harus tetap makan," papar dia.
Cerita kehilangan
Tepat pada hari Iduladha kemarin pagi, Tribun Jogja berada di satu tempat pengisian ulang oksigen medis di Yogyakarta. Antrean panjang sudah mengular sejak pukul 08.30 atau bahkan lebih pagi. Harapan para pengantre terus membuncah untuk mendapatkan oksigen demi orang-orang tercinta yang menanti di rumah.
Namun, beberapa pengantre harus menerima kenyataan lain. Satu orang mendapatkan kabar duka di tengah antrean. Simbahnya meninggal dunia. Tak pantang semangat, dia tetap melanjutkan antrean karena oksigen medis ini ternyata juga dibutuhkan sang ayah.
Pengantre lain, tak jauh dari Tribun Jogja berdiri, tiba-tiba mundur dari antrean. Orang-orang pun bertanya mengapa tidak melanjutkan antre, dengan nada getir dia berkata sudah tidak membutuhkan oksigen itu lagi. Kabar kehilangan adalah penyebabnya.
Tak berhenti di situ, ada pula seorang wanita yang turut mengantre sendirian. Waktu berlalu. Setelah mengisi tabung, dia memasang regulator dan mulai menghirup oksigen tersebut. Ternyata wanita itu sendiri yang membutuhkannya. (hda/bad/hdy)
Baca selengkapnya Tribun Jogja edisi Rabu 21 Juli 2021 halaman 01.