"Time (to) Wonder dan relevansinya dengan project keluarga saya sebenarnya adalah saya dan bapak itu selama hampir 11 tahun mencari keberadaan kuburan eyang, bapaknya bapak saya. Tugas itu kemudian baru kami selesaikan pada 2020 di masa pandemi," ujar Farid.
"Nah proses itu yang kemudian kami presentasikan di Artjog tahun ini dengan judul Dongo Dinongo Reactor," lanjutnya.
Dongo Dinongo Reactor merupakan karya instalasi mix media partisipatoris. Farid dan sang bapak menghimpun sejumlah 65 tangga bambu, yang kemudian disusun menjadi lingkaran serta di tengahnya ada sejumlah artefak keluarga di antaranya televisi lawas, bendera merah-putih, ceret serta gelas, serta beberapa hal tentang lagu kejawen turut disematkan.
"Bambu yang kami dapat merupakan hibah dari kerabat, keluarga, serta kawan-kawan yang concern dengan isu 65' dan HAM di Indonesia. Kemudian mereka juga menyumbangkan testimoni pada konteks karya yang saya bawakan ini," ujar Farid.
Bagi keluarga Farid, tangga atau dalam bahasa Jawa yakni andha merupakan simbol dari usaha mereka untuk membicarakan ulang, diskusi, dan membuka dialog dengan anggota keluarga serta penduduk desa, tentang kekeliruan penulisan sejarah yang dialami sang kakek dan juga banyak teman-teman kakeknya yang juga terefek dengan situasi tahun itu. (han)
Baca selengkapnya Tribun Jogja edisi Minggu 11 Juli 2021 halaman 06.